PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1987 TENTANG SATUAN TURUNAN, SATUAN TAMBAHAN, DAN SATUAN LAIN YANG BERLAK
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN
1987
TENTANG
SATUAN TURUNAN,
SATUAN TAMBAHAN, DAN SATUAN LAIN YANG BERLAKU
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal perlu menetapkan dan mengatur Satuan
Turunan, Satuan Tambahan, dan Satuan Lain yang berlaku, dalam rangka
menertibkan pemakaian satuan-satuan ukuran dalam perdagangan dan pemakaian
secara umum;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun
1981 tentang
Metrologi Legal (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3193),
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG SATUAN TURUNAN, SATUAN
TAMBAHAN, DAN SATUAN LAIN YANG BELAKU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
a. Undang-undang Metrologi Legal
selanjutnya disingkat UUML adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
b. Konperensi Umum untuk Ukuran dan
Timbangan (La Conference Generale des Poids et Mesures) selanjutnya disingkat
CGPM adalah konperensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d UUML;
c. Satuan Dasar adalah satuan yang
merupakan dasar dari satuan suatu besaran, yang dapat diturunkan menjadi Satuan
Turunan;
d. Satuan Turunan adalah satuan yang
diturunkan atau dibentuk dari satuan dasar secara hubungan aljabar;
e. Satuan Tambahan adalah satuan yang oleh
CGPM belum dapat dimasukkan baik sebagai satuan dasar maupun satuan turunan;
f. Satuan Lain yang berlaku adalah satuan
yang tidak termasuk baik sebagai satuan dasar, satuan turunan maupun satuan
tambahan, yang oleh CGPM dibolehkan pemakaiannya dengan ketentuan-ketentuan
tertentu karena penting dan luas penggunaannya;
g. Awal kata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) UUML adalah kata yang ditempatkan di depan suatu satuan yang
menyatakan kelipatan atau bagian desimal satuan tersebut,
h. Menteri adalah Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf t UUML.
Pasal 2
Satuan Dasar, Satuan Turunan, dan Satuan Tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah ini adalah Satuan Sistem Internasional (SI).
BAB II
SATUAN TURUNAN
Pasal 3
Satuan Turunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibagi atas 3 (tiga)
golongan, yaitu :
a. Satuan Turunan untuk besaran dengan
nama dan lambang satuan yang dinyatakan dalam nama dan lambang Satuan Dasar;
b. Satuan Turunan untuk besaran dengan
nama dan lambang khusus;
c. Satuan Turunan untuk besaran yang
menggunakan gabungan Satuan Dasar dan Satuan Turunan tersebut pada huruf b atau
gabungan Satuan Turunan tersebut pada huruf a dan huruf b.
Pasal 4
(1) Satuan Turunan untuk besaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(2) Satuan Turunan untuk besaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
(3) Satuan Turunan untuk besaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.
BAB III
SATUAN TAMBAHAN
Pasal 5
(1) Satuan Tambahan adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV.
(2) Bersama Satuan Dasar dan/atau Satuan
Turunan, Satuan Tambahan dapat membentuk turunan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V.
BAB IV
SATUAN LAIN YANG BERLAKU
Pasal 6
Satuan lain yang berlaku adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI.
BAB
V
TATA
CARA PENULISAN SATUAN DAN AWAL KATA
Pasal
7
Besaran, nama, dan lambang satuan serta nama dan lambang awal kata
ditulis dalam huruf Latin.
Pasal 8
(1) Lambang satuan ditulis tanpa titik di
belakangnya.
(2) Lambang satuan yang berasal dari nama
orang ditulis dengan huruf kapital untuk hurup awalnya.
(3) Lambang satuan tidak berubah dalam
menunjukkan jamak.
(4) Lambang satuan tidak berubah baik dalam
kedudukannya sebagai bagian dari setiap bentuk kalimat maupun jika berdiri
sendiri.
(5) Perkalian dari dua atau lebih lambang
satuan, dinyatakan dengan titik dan titik tersebut dapat ditiadakan jika tidak
akan mengakibatkan kekeliruan terhadap lambang satuan lainnya.
(6) Garis miring (/) atau garis bagi (-) atau
pangkat negatif dapat digunakan untuk menyatakan lambang Satuan Turunan yang
dibentuk dari pembagian lambang satuan yang berlainan.
(7) Garis miring atau garis bagi tidak boleh
diulang dalam satu pernyataan lambang satuan, sedangkan keragu-raguan atau
salah pengertian dapat dihindari dengan menggunakan tanda kurung.
Pasal 9
(1) Nama awal kata hanya boleh ditulis
bersama nama satuan.
(2) Nama awal kata pada suatu nama satuan
tidak boleh lebih dari satu buah.
Pasal 10
(1) Lambang awal kata yang diletakkan di depan
lambang satuan, ditulis tanpa jarak dengan lambang satuannya.
(2) Lambang awal kata tidak berubah baik
dalam kedudukannya sebagai bagian dari setiap bentuk kalimat maupun jika
berdiri sendiri.
(3) Pangkat yang dibubuhkan pada suatu
lambang satuan yang ada lambang awal katanya menunjukkan bahwa lambang awal
kata tersebut ikut dipangkatkan sebanyak yang dinyatakan oleh pangkat tersebut.
(4) Lambang awal kata pada suatu lambang
satuan tidak boleh lebih dari satu buah.
(5) Lambang awal kata hanya boleh dituliskan
bersama lambang satuan.
BAB
VI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
11
Perubahan besaran, nama, lambang, dan lain-lainnya yang tercantum dalam
Lampiran I sampai dengan Lampiran VI diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Perraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1987
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1987
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
10 TAHUN 1987
TENTANG
SATUAN
TURUNAN, SATUAN TAMBAHAN, DAN
SATUAN
LAIN YANG BERLAKU
UMUM
Dalam Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
ditetapkan bahwa satuan yang berlaku sah di Indonesia adalah Satuan Sistem
Internasional yang terdiri dari Satuan Dasar, Satuan Turunan, dan Satuan
Tambahan yang merupakan satu kesatuan yang satu sama lain berkaitan secara
terpadu ("koheren").
Mengingat penggunannya yang sangat luas, selain satuan‑satuan tersebut
di atas diperlukan juga adanya Satuan Lain yang berlaku. Oleh CGPM, Satuan Lain
yang berlaku ini masih diterima untuk dipakai, akan tetapi dengan pembatasan‑pembatasan
tertentu. Sebagai contoh : satuan jam dengan lambang h yang besarnya 3.600 s
dibatasi penggunaannya hanya untuk menyatakan waktu.
Pengaturan satuan‑satuan dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan
untuk menuju keseragaman pemakaian Satuan Ukuran dan untuk membatasi perluasan
penggunaan secara bebas dari satuan-satuan tertentu.
Sampai dengan saat ini Satuan
Tambahan hanya terdiri dari 2 (dua) satuan yakni Satuan Tambahan Untuk Sudut
Datar dan Satuan Tambahan Untuk Sudut Ruang. Kedua satuan ini belum dapat
digolongkan sebagai Satuan Dasar ataupun Satuan Turunan, dan karenanya
digolongkan sebagai Satuan Tambahan. Akan tetapi dalam praktek, salah satu atau
kedua satuan ini pada suatu saat dapat berfungsi/berkedudukan sebagai Satuan
Dasar atau sebagai Satuan Turunan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Yang
dimaksud dengan hubungan aljabar di sini terbatas pada perkalian dan pembagian
saja.
Contoh: 1. Lambang
satuan m2 untuk besaran luas adalah merupakan Satuan Turunan dari m (Satuan
Dasar) dikalikan m (Satuan Dasar);
2. Lambang satuan m/s untuk besaran
kecepatan linear adalah merupakan Satuan Turunan dari m (Satuan Dasar) dibagi s
(Satuan Dasar);
3. Lambang satuan m‑1 untuk besaran
bilangan gelombang adalah merupakan Satuan Turunan dari l dibagi m (Satuan
Dasar).
Huruf e
Oleh
karena Satuan Tambahan kadang‑kadang dapat berfungsi sebagai Satuan Dasar dan
kadang‑kadang dapat pula berfungsi sebagai Satuan Tamabahan, maka CGPM belum
dapat memasukkannya baik sebagai Satuan Dasar maupun sebagai Satuan Turunan.
Huruf f
Satuan
ini sebenarnya tidak termasuk Satuan SI. Mengingat bahwa satuan ini masih
berlaku dalam arti bahwa satuan ini masih dipakai secara luas dalam bidang ilmu
pengetahuan dan bidang lainnya, maka CGPM masih dapat menerima pemakaiannya
asalkan diberi ketentuan/ batasan tertentu.
Huruf g
Awal
kata dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1. Nama awal kata,contoh : kilo;
2. Lambang awal kata,contoh : k.
Pemakaian
kedua bagian tersebut di atas diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Huruf h
Cukup
jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Yang
dimaksud dengan nama dan lambang khusus adalah nama dan lambang yang berbeda
sama sekali dengan nama dan lambang satuan dasar. Pemberian nama dan lambang
khusus ini antara lain dikaitkan dengan orang yang menemukan atau membuat
satuan ini.
Huruf c
Cukup
jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
LAMPIRAN
II
Angka
1
Cukup
jelas
Angka
2
Cukup
jelas
Angka
3
Cukup
jelas
Angka
4
Cukup
jelas
Angka
5
Cukup
jelas
Angka
6
Cukup
jelas
Angka
7
Cukup
jelas
Angka
8
Cukup
jelas
Angka
9
Cukup
jelas
Angka
10
Cukup
jelas
Angka
11
Cukup
jelas
Angka
12
Cukup
jelas
Angka
13
Cukup
jelas
Angka
14
Cukup
jelas
Angka
15
Dalam menyatakan fluks cahaya dengan
menggunakan Satuan Dasar, dipergunakan cd dan sr. Dalam hal ini, sr berfungsi
sebagai Satuan Dasar.
Angka
16
Dalam menyatakan kuat penerangan
dengan menggunakan Satuan Dasar, dipergunakan m, cd, dan sr. Dalam hal ini, sr
berkedudukan sebagai Satuan Dasar.
Angka
17
Cukup
jelas
Angka
18
Cukup
jelas
Angka
19
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Pasal 6
LAMPIRAN VI
Angka 1
Cukup
jelas
Angka 2
Cukup
jelas
Angka 3
Cukup
jelas
Angka 4
Cukup
jelas
Angka 5
Cukup
jelas
Angka 6
Cukup
jelas
Angka 7
Penggunaan lambang 1 untuk nama liter masih tetap
diizinkan sampai ada ketentuan yang mencabutnya.
Angka 8
dan 9
Penggunaan tanda _ (yang artinya : mendekati nilai)
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa angka yang tersebut sesudah tanda tadi tidak
tepat betul (tidak eksak), karena didapatkan dari hasil percobaan.
Angka 10
Cukup
jelas
Angka 11
Cukup
jelas
Angka 12
Cukup
jelas
Angka 13
Cukup
jelas
Angka 14
Cukup
jelas
Angka 15
Cukup
jelas
Angka 16
Cukup
jelas
Angka 17
Cukup
jelas
Angka 18
Cukup
jelas
Angka 19
Cukup
jelas
Angka 20
Cukup
jelas
Angka 21
Cukup
jelas
Angka 22
Di samping lambang rad, maka penggunaan lambang rd masih
diizinkan.
Angka 23
Cukup
jelas
Angka 24
Cukup
jelas
Angka 25
Cukup
jelas
Angka 26
Cukup
jelas
Angka 27
Cukup
jelas
Angka 28
Cukup
jelas
Angka 29
Cukup
jelas
Angka 30
Cukup
jelas
Angka 31
Cukup
jelas
Angka 32
Cukup
jelas
Angka 33
Cukup
jelas
Angka 34
Cukup
jelas
Angka 35
Cukup
jelas
Angka 36
Cukup
jelas
Angka 37
Cukupjelas
Angka 38
Cukup
jelas
Angka 39
Cukup
jelas
Angka 40
Cukup
jelas
Angka 41
Cukup
jelas
Angka 42
Cukup
jelas
Angka 43
Cukup
jelas
Angka 44
Cukup
jelas
Angka 45
Cukup
jelas
Pasal 7
Setiap satuan terdiri dari 3 (tiga)
unsur, yaitu
a. Besaran
satuan, contoh : luas;
b. Nama
satuan, contoh : meter persegi;
c. Lambang
satuan, contoh : m2.
Pasal 8
Ayat (1)
Di
belakang lambang satuan, tidak dibenarkan adanya tanda baca "titik",
kecuali apabila lambang tersebut berada di akhir kalimat, karena lambang satuan
bukanlah merupakan singkatan.
Contoh: 1. Harga
1 m kain Rp. 1.000,00 (benar)
2. Harga 1 m. kain Rp. 1.000,00 (salah)
3. Luas tanah itu 100 m2. (benar).
Ayat (2)
Lambang
satuan yang berasal dari nama orang ditulis dengan huruf kapital dalam segala
bentuk.
Contoh :Lambang satuan
untuk besaran arus listrik adalah A atau bentuk lainnya asalkan merupakan huruf
kapital.
Lambang
satuan yang tidak berasal dari nama orang ditulis dengan huruf kecil (bukan
kapital).
Contoh :Lambang satuan
untuk besaran panjang adalah m atau dalam bentuk lainnya asalkan bukan huruf
kapital.
Ayat (3)
Contoh :Apabila 2
kilogram hendak ditulis dalam lambang satuan, maka harus ditulis 2 kg dan bukan
2 kgs.
Ayat (4)
Contoh : 1.Lambang satuan dalam kedudukannya
sebagai bagian dari bentuk kalimat :
a. Kalimat berita.
‑ Yang berwajib telah menyita 676 g
heroin bernilai lebih dari seratus juta rupiah yang akan dikirim ke Amerika
Serikat (benar).
‑ Yang berwajib telah menyita 676 G
heroin bernilai lebih dari seratus juta rupiah yang akan dikirim ke Amerika
Serikat (Salah).
b. Kalimat judul.
‑ YANG BERWAJIB TELAH MENYITA LEBIH
DARI 500 g HEROIN (benar).
‑Y ANG BERWAJIB TELAH MENYITA LEBIH DARI
500 G HEROIN (salah).
2. Lambang satuan dalam kedudukannya yang
berdiri sendiri.
No. Jenis barang Berat Harga
1 Berat 1
KG Rp .......
2 ..... .... ..........
(s
a l a h )
No. Jenis barang Berat Harga
1 Beras 1
kg Rp .......
2 ..... .... ..........
(b
e n a r)
Ayat (5)
Contoh : Lambang satuan dari besaran energi
(newton meter) adalah N.m atau Nm atau m.N dan bukan mN karena mN bisa berarti
milinewton.
Ayat (6)
Contoh : Cara menuliskan lambang satuan dari
besaran kecepatan (meter per sekon)
adalah m/s atau
m
atau ms-1 tetapi bukan ms-1 karena ms-1
s
dapat diartikan satu per mili sekon.
Ayat (7)
Contoh : 1. Cara
menuliskan lambang dari besaran percepatan adalah m/s2 atau m.s‑2
tetapi bukan m/s/s dan tidak m
s
2. Cara menuliskan lambang satuan dari
besaran kuat medan listrik adalah m.kg(s3.A) atau m.Kg.S-3.A-l
tetapi bukan m.kg/s3/A.
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh : 1. kilometer
(benar);
2. kilom (salah).
Ayat (2)
Contoh : 1. gigagram
(betul);
2. megakilogram (salah).
Pasal 10
Ayat (1)
Yang
dimaksudkan dengan jarak adalah ruang kosong antara satu huruf dengan huruf
berikutnya, yang dalam istilah sehari‑hari di bidang pengetikan disebut
"ketukan" (satu "ketukan" akan menimbulkan adanya ruang
kosong yang lebarnya sama dengan lebar satu huruf).
Contoh : Untuk menuliskan lambang
"kilo" di muka lambang satuan m adalah km dan bukan k m.
Ayat (2)
Contoh : 1. Lambang
awal kata dalam kedudukannya sebagai bagian dari bentuk kalimat.
a. Kalimat berita.
‑ Yang berwajib telah menyita 0,676 kg
heroin bernilai lebih dari seratus juta rupiah yang akan dikirim ke Amerika
Serikat (benar);
‑ Yang berwajib telah menyita 0,676 Kg
heroin bernilai lebih dari seratus juta rupiah yang akan dikirim ke Amerika
Serikat (salah).
b. Kalimat judul.
‑ YANG BERWAJIB TELAH MENYITA LEBIH
DARI 0,5 kg HEROIN (benar);
‑ YANG BERWAJIB TELAH MENYITA LEBIH
DARI 0,5 KG HEROIN (salah).
2. Lambang awal kata dalam kedudukannya
yang berdiri sendiri.
No. Jenis barang Ukuran Harga
1 Kaca nako 40 cm Rp .....
2 ..... .... ........
(
b e n a r )
No. Jenis barang Ukuran Harga
1 Kaca nako 40 Cm Rp
.....
2 ..... .... ........
(s
a l a h )
Ayat (3)
Contoh : 1 cm3 adalah sama dengan
l(cm)3 atau sama dengan (10‑2m)3 atau sama
dengan 10‑6m3
Ayat (4)
Contoh : Satu juta kilogram boleh ditulis 1 Gg
tetapi tidak boleh ditulis 1 Mkg karena M adalah lambang awal kata dan k juga
lambang awal kata.
Ayat (5)
Contoh : 1. km
(betul);
2. kmeter (salah).
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑
CATATAN
Di dalam dokumen ini terdapat lampiran dalam format gambar. Lampiran-lampiran ini terdiri dari beberapa
halaman yang ditampilkan sebagai satu berkas. Dari daftar berikut ini, pilihlah
salah satu butir untuk menampilkan lampiran dengan menekan TAB dan kemudian
tekanlah ENTER.
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA TAHUN 1987
Sumber: LN 1987/17; TLN NO. 3351
Komentar
Posting Komentar