Makalah Filsafat Aliran
Makalah Filsafat Pendidikan
Bab 1.
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Waktu terus berjalan, pendidikan pun terus berkembang
bersama hiruk pikuk hidup dan kehidupan insan. Problem-problem pendidikan pun
bermunculan begitu cepat secepat cendawan tumbuh di musim hujan. Ilmu
pendidikan bertanggungjawab untuk memecahkan problem-problem tersebut, untuk
itu tidaklah ringan tanggung jawab yang diembannya karena begitu kompleks
problem-problem yang ada di dunia pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun
meminta pertolongan pada pihak lain, pihak filsafat pendidikan karena problem
yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan sudah memasuki wilayah atau
lingkaran hakikat. Manakala problem pendidikan memasuki lingkaran yang
substansial atau filosofis kiranya ilmu pendidikan menyerahkan garapan itu pada
filsafat pendidikan. Filsafat
pendidikan akan menjawab secara filosofis atas pertanyaan filosofis yang muncul
dari belahan dunia pendidikan. Menurut
A. Chaedar Alwasilah: Filsafat Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat,
dan isi yang ideal dari pendidikan (Chaedar, 2008:101). Al-Syaibany: Filsafat
Pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.
Hal senada dikatakan Hasan Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas
pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun
proses pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai
dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya (Jalaluddin, 2007:19,158). Sedang George
R. Knight mengatakan: Filsafat Pendidikan tidak berbeda dengan filsafat umum,
ia merupakan filsafat umum yang diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah
filsafat spesifik dari usaha serius manusia (Knight, 2007:21). Sementara Imam
Barnadib mengatakan: Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya
merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan
(Barnadib, 1986:14). Berdasar pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa
filsafat pendidikan adalah ilmu yang membahas pendidikan secara filosofi, atau
ilmu yang membahas secara filosofi mengenai pendidikan.
Semenjak kelahirannya, ilmu filsafat
berkembang dan secara tidak langsung telah ikut mempengaruhi dunia pendidikan.
Adanya berbagai aliran dalam pendidikan adalah akibat berbagai penafsiran dan
pemikiran para ahli pendidikan itu sendiri dalammenafsirkanartipendidikan.
Diantara berbagai aliran yang berkembang salah aliran Pragmatisme ,Eksistensialisme dan Progresivisme yang menurut beberapa ahli cukup memberikan andil dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini.
Diantara berbagai aliran yang berkembang salah aliran Pragmatisme ,Eksistensialisme dan Progresivisme yang menurut beberapa ahli cukup memberikan andil dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas kita ada beberapa rumusan masalah
Yaitu 1. Apa itu Aliran Filsafat
Pendidikan Pragmatisme?
2. Apa itu Aliran Pendidikan Eksistensialisme?
3.Apa itu Aliran Pendidikan
Progresivisme?
1.3. Tujuan Masalah
Makalah ini Bertujuan Untuk Mengetahui dan menjelaskan Aliran Filsafat
Pendidikan Pragmatisme,Eksistensialisme dan juga Progresivisme serta di samping
itu untuk memenuhi tugas perkuliahan Matakuliah Filsafat Pendidikan Di
Universita Negeri Medan
Bab 2.
Pembahasan
1.1.Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara
manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk pisik hasil evolusi
biologis, sosial dan psikologis. Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah
Sedang pengetahuan sebagi transaksi manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran
merupakan bagian dar pengetahuan. Nilai sesuatu yang relatif, selalu berubah,
tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa pendidikan
merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari pengalaman-pengalaman
individu (Sadullah, 2007: 125). Pembentukan pribadi anak merupakan proses
menata dan mebangun kembali pengalaman-pengalaman anak, bukan proses
pembentukan dari luar dan bukan pemerkahan potensi diri. Pendidikan adalah
kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk kehidupan. Tujuan pendidikan adalah
suatu kehidupan yang baik. Oleh karena pelajaran yang diberikan harus
didasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami dan dibicarakan. Dan
kurikulumnya, setiap pelajaran merupakan suatu kesatuan, perpaduan antara
pengalaman di sekolah dan luar sekolah. Pendidik di sini hanya sebagai
fasilitator dan memberi dorongan pada peserta didik hingga dapat berpikir
ilmiah dan logis. Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa
benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada
berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir
Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya
intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang
dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut
filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung
pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun
1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin
dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme, telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme, telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
1.2.Aliran
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh
ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian
filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang
dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal
dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin
menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan
tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang
umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang
muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami
krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya.
Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia
(aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan,
dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian
diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada
upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan
filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”. Jawabannya
adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat
eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan
eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara
manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia
adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealisme :
manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology,
eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan manusia yang diyakini
mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya, pertanyaan utama
eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai
dari apakah kebebasan itu ? bagaimanakah manusia yang bebas itu ? eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan
tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme
dikenal lewat Jean Paul Sartre, dengan diktumnya “human is condemned to be
free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang
sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasab eksistebsialis : sejauh mana
kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”.
Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para
penganut eksistensialisme meyakini kebebasan adalah satu-satunya unuversalitas
manusia. Maka, batasab kebebasan setiap individu adalah kebebasan indovidu
lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu
harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar
bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali
manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru
yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti
eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai
profesi seperti dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh
eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan
orang tua atau kita sendiri.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi
problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia,
bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang
terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani
dan eksistensialisme ateis.
Filsafat eksistensialisme membahas cara
pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu oleh Sartre terbagi menjadi dua,
yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri) dan l’etre – pour – soi (berada –
untuk – diri). L’etre – en –soi selalu menjadi keberadaan yang an –sich, ada
yang bulat, padat, baku, dan tertutup. Entre – en – soi menaati prinsip what it
is.
Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu
disebabkan oleh sebab-sebab yang telah ditentukan oleh adanya. Maka, benda
entre – en – soi terdeteminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan
(nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alas an apa pun,
tanpa alas an yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre – pour – soi adalah cara ada
yang sadar. Satu-satunya makhluk yang mengada secara sadar adalah manusia. Etre
– pour – soi tidak memiliki prinsip identitas karena adanya terbuka, dinamis,
dan aktif oleh karena kesadarannya. Disini, manusia mesti bertanggung jawab
atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam
tarekat, bukan imam diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku”
dosen, bukan mahasiswa; bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar
bahwa dia bereksistensi.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi
menjadi dua, yaitu kesadran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran
prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku”
dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah kesadaran akan diri.
Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu
membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Misalnya,
ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut Sartre seseorang akan
dibawa pada sesuatu yang dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah
kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang terkutuk.
Pendeknya, eksistensialisme selalu menjadi
pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami
individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri.
Menurut Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein
tersusun dari dad dan sein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Artinya,
manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah
etre, melainkan a etre – manusia itu tidak hanya ada, tetapi dia selamanya
harus membangun adanya, adanya harus dubentuk dengan tidak henti-hentinya.
Menurut
Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik
(bertuhan) dan arteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat
tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat
spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu.
Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak
ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka, konsep
metafisika adalah sementara.
Eksistensialisme
Dalam Pendidikan
1. Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak
dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan
penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut
menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung
kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia
terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat
untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan
alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan
alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana
anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi
anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2. Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai,
menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu
cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling
sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima
akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai,
karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.
Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga
untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya
sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia
harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan
sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam
situasi.
3. Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat
menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu
dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab
terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan,
karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah
yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian,
dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan
pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong
setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.
Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang
pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum
berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan
makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene
“kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang
memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka
sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada
satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata
pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan
kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats
adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa
anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun
bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa
akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir
termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan,
kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema
yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh
kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai
kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia
pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang
dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan
perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan
perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut
diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran
dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang
diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh
karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c. Proses
belajar mengajar.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar
mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber
tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi,
dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber
kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada
kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi
penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru
hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan
dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara
materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk
mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut.
Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan
produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan
tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru
dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada
siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga
guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan
pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan
kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah
menjadi miliknya sendiri.
d. Peranan
guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan
tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia
temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita
miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi
kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998),
seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa
untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide
yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa
untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari
itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan
siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui
pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member
instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan
diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan
eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang
pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog
dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam
pemenuhan dirinya.
1.3.Aliran
Pendidikan Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat
segala sesuatu dari segi keagungannya.Progresivisme dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan
asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori.
Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap
lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Dalam pendapat lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya. Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910) John DeweyJohn Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatanfisik,barupeminatan.
Dalam pendapat lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya. Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910) John DeweyJohn Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatanfisik,barupeminatan.
Salah seorang bapak pendiri filsafat pragmatisme. Dewey
mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun
demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi
pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama,
berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori
maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam
sumbangan pikirannya terhadap filsafat pendidikan Prugressivisme Amerika. Dewey
tidak hanya berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi
juga karena perkembangan idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum,
antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. Dia adalah juru bicara yang sangat
terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis.
Gambar 3: Charles S. PierceJohn Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika,
Gambar 3: Charles S. PierceJohn Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika,
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia
pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University
of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey
memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey
akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan
tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan,
seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
Bab3.
Penutup
Filsafat
Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari atau membahas pendidikan secara
filosofis. Filsafat dan filsafat pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi
lahirnya filsafat pendidikan. Senada juga filsafat dan pendidikan memiliki
hubungan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar yang melandasi praktik
pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep filsafat.
Demikian
pula filsafat pendidikan dan pendidikan memiliki hubungan timbal-balik yang
saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus
berkembang pesat; filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai
dan pola pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi bahan pemecahan
filsafat pendidikan. Paham pragmatis memandang bahwa realita merupakan interaksi
antara manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk Fisik hasil evolusi
biologis, sosial dan psikologis. Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada
pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang
dialaminya bukan diluar kita. Jika
manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. tujuan
pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki
aturan-aturan. Peranan guru adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik
namun disisi lain guru sebagai motivator dan fasilitator .
DanAliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat
segala sesuatu dari segi keagungannya. Progressivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia
itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang
menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme
mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas,
terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup
manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang
bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman
sekarang.
Daftar
Pustaka
Purba
Edward,Yusnadi.2013.Filsafat Pendidikan,Medan:Univesitas Negeri Medan
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar
Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Komentar
Posting Komentar