PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PENGHITUNGANNYA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pajak
merupakan kewajiban kenegaraan yang menunjukan peran seta dari seluruh
masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan
pengeluaran negara yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian
bangsa untuk mencapai cita-cita luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pajak pada
dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada negara
yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat
pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak
dinggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus
dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
penerimaan pajak, baik dengan usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Dalam
pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal yang mendasar dan harus diketahui
adalah dasar pengenaan pajak. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak
disesuaikan dengan jenis pajak yang akan ditanggung oleh seorang wajib pajak.
Biasanya apa yang mnejadi dasar pengenaan pajak diatur dalam hukum pajak material.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang PPN dan PPnBM, dasar pengenaan
pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau
nilai yang lain yang dipakai sebagai dasar menghitung pajak terutang.
Pemungutan
pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat dan pemerintah, yang
dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak. Hal ini melahirkan adanya hukum
pajak di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam laporan ini yaitu apa pengertian dari PPN dan PPnBM, seperti apa
karakteristik PPN dan PPnBM serta mekanisme pemungutannya di Indonesia, siapa
saja yang termasuk objek dan subjek PPN, dan bagaimana perhitungan PPN menurut
ilmu hukum pajak. Untuk memudahkan analisis maka rumusan masalah dituangkan
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan PPN dan
PPnBM?
2. Seperti apa karakteristik dan
mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM?
3. Apa yang dimaksud dengan subjek dan
objek PPN?
4. Bagaimana teknik perhitungan PPN dan
PPnBM?
Sub-sub
masalah tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai pertanyaan-pertanyaan
pokok dalam laporan.
1.3. Tujuan
Tujuan
umum dari dususunnya laporan ini adalah untuk memahami perhitungan dan berbagai
hal yang berkaitan dengan PPN dan PPnBM. Adapun tujuan khusus adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui dan memahami pengertian
PPN dan PPnBM dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mengetahui dan memahami
karakteristik serta mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM.
3. Mengetahui siapa saja yang dikategorikan
sebagai subjek dan objek PPN dan PPnBM.
4. Mengetahui dan memahami cara
menghitung pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
1.4. Manfaat
Laporan
ini diharapkan bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Sekecil apapun itu,
kami berharap bisa berkontribusi untuk kemajuan bangsa dalam pengelolaan pajak.
Manfaat yang kami harapkan antara lain:
1. Mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang apa itu pajak dan masyarakat menjadi paham.
2. Memberi tahu kepada masyarakat
tentang PPN dan PPnBM sehingga masyarakat menjadi sadar akan kewajibannya
membayar pajak.
3. Berkontribusi dalam pengelolaan
pajak yang sehat dan dinamis.
4. Mewujudkan masyarakat yang sejahtera
melalui pajak.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Pajak
adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak)
untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa
yang dapat ditunjuk secara langsung.
Pajak
dipungut secara paksa demi kesejahteraan rakyat, hal ini sesuai dengan
pernytaan Prof. Dr. Adriani tentang definisi pajak.
“Pajak adalah adalah iuran
kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya
menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk
secara langsung.”
Pajak
selain dipungut secara paksa, pajak juga merupakan suatu alih bentuk kekayaan
dari masyarakat kepada negara. Hal ini senada dengan pendapat dari Prof. Dr.
Soemitro, S.H. yang menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara.
“Pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan
undang-undang). Artinya dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa
timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum.”
PPN adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang
Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal
ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara
diatasnya.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian PPN dan PPnBM
Pajak
pertanbahan nilai atas barang dan jasa adalah pajak yang dikenakan atas
penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan
oleh pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam
daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena
pajak tidak terwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia,
pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
Indonesia, atau ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
PPN secara
efektif mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 April 1985, walaupun
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dinyatakan berlaku
pada tanggal 1 Januari 1984.
PPN
ditetapkan dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan pajak yang
dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat
dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan,
menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan
jasa kepada para konsumen.
Semua
biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa
tanah, upah kerja, dan laba perusahaan adalah merupakan unsure nilai tambah.
Jadi nilai tambah dapat diperoleh dalam kegiatan industri maupun perdagangan,
bukan diperoleh dari perubahan bentuk atau sifat barang.
Nilai
tambah dapat dirumuskan sebagai hasil penjumlahan unsur-unsur biaya dan laba
dalam proses produksi atau distribusi barang atau jasa. Dalam dunia perdagangan
nilai tambah dapat diketahui dari pengurangan harga jual dengan harga beli.
Pajak
pertambahan nilai ditetapkan untuk mengganti peranan pajak penjualan, karena
PPN tidak mengenal pengenaan pajak berganda. Hal ini dikarenakan jumlah PPN
yang disetor kepada negara adalah selisih lebih antara PPN yang dipungut PKP
dengan PPN yang dibayar ke PKP pada waktu membeli barang atau jasa. Selisih
tersebut yang disetor ke kas negara adalah pajak yang dikenakan atas nilai
tambah.
Pajak
pertambahan nilai yang lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem
pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan
pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang
dikonsumsi. Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat
konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun
jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak secara bertingkat ini
tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali pajak yang
telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase
beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang
berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi
atau distribusi tidak mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh
konsumen.
Dengan
mengenakan PPN atas nilai tambah dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang diserahkna oleh Pengusaha Kena Pajak maka kekhawatiran timbul efek
pengenaan pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimaksud dengan nilai
tambah adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau
distribusi yang meliputi penyusutan, bunga modal, gaji, upah, sewa telepon,
listrik serta pengeluaran lainnya dan laba yang diharapkan oleh pengusaha.
Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan
sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.
Pajak
penjualan atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan
barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah
pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong
mewah. Sebelum beranjak lebih jauh kita harus terlebih dahulu memahami istilah
impor.
Istilah
impor didefinisikan dalam UU PPN 1984 adalah semua kegiatan memasukan barang ke
dalam daerah pabean. Definisi ini menunjukan bahwa kegiatan memasukan barang
dari pelabuhan bebas atau bonded area ke daerah pabean adalah pula
termasuk pemgertian impor. Demikian pula kegiatan memasukan barang dari luar
negeri ke pelabuhan bebas atau bonded area adalah bukan termasuk
pengertian impor. Berarti pula istilah impor adalah semua kegiatan yang
memasukan barang dari luar negeri ke daerah Republik Indonesia, kecuali
Pelabuhan Bebas.
Namun,
sesuai dengan sifat pajak pertambahan nilai sebagai pajak untuk konsumsi dalam
negeri maka dari kedua kegiatan tersebut hanya kegiatan impor yang terhutang
Pajak Pertambahan Nilai. Terhadap kegiatan ekspor, meskipun pada dasarnya tidak
terhutang pajak pertambahan nilai, namun sebagai sarana untuk menopang kegiatan
ekspor maka atas ekspor tersebut dikenakan pajak pertambahan nilai dengan tarif
0%, sehingga eksportir yang telah memilih menjadi PKP dapat mengkreditkan pajak
masukannya.
Kembali
pada bahasan tentang PPnBM. PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN.
PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor atau pada saat
penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha kena pajak
pabrikan. Penyerahan berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. Hal ini membuat
PPnBM tidak dapat dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya. Dengan
demikian pembayaran PPnBM oleh pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan
atau yang melakukan impor barang kena pajak yang tergolong mewah dapat
dimasukan ke dalam harga jual barang tersebut. Dalam hal barang kena pajak yang
tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang telah dibayar pada saat perolehannya
dapat diminta kembali atau direstitusi oleh wajib pajak.
Pengenaan
PPnBM atas impor barang kena pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan
siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan
apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan barang kena pajak yang
tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari bagian dari barang
kena pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi
sebelumnya.
Dari
uraian di atas tampak bahwa walaupun yang membayar PPnBM adalah pengusaha kena
pajak yang menerima penyerahan ataupun pihak yang melakukan impor kena pajak
yang tergolong mewah sebenarnya pada akhirnya bukan mereka yang menanggung
beban pajak tersebut. Karena PPnBM yang terutang tersebut pada akhirnya
dimasukan sebagai unsur biaya yang menambah harga barang maka yang menanggung
beban pajak tersebut pada akhirnya adalah konsumen terakhir. Karena pembebanan
pajak yang dapat digeserkan kepada pihak lain merupakan cirri dari pajak tidak
langsung maka PPnBM mrupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang saat
ini diberlakukan di Indonesia.
3.2. Karakteristik PPN dan PPnBM
Karakteristik
PPN dan PPnBM
Apabila
melihat dari pengertian PPN kita bisa menyimpulkan karekteristik dan jiwa PPN
adalah sebagai berikut.
1. Merupakan pajka tidka langsung yang
dipungut pada setiap mata rantai jalur perusahaan.
2. Bersifat netral dan diharapkan tidka
menimbulkan efek pajak berganda.
3. Merupakan pajak konsumsi di dalam
negeri.
4. Mekanisme yang diharapkan sederhana
dengan menggunakan tarif tunggal.
5. Merupakan pajak objektif.
Adapun
penjelasan dari karakteristik dan jiwa PPN dan PPnBM yaitu seperti berikut ini.
1. PPN merupakan pajak tidak langsung.
Konsekuensi yuridis bahwa antara
pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak berada pada
pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini secara nyata
berkedudukan sebagai pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak.
Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah pengusaha kena pajak
yang bertindak selaku penjual barang kena pajak atau pengusaha kena pajak.
Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak
yang akan mengkonsumsi barang atau jasa kena pajak.
Sudut pandang yuridis ini membawa
konsekuensi filosofi bahwa dalam pajak tidka langsung apabila pembeli atau
penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha
jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut kepada kas
negara.
2. PPN sebagai pajak objektif.
Pajak objektif adalah suatu jenis
pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif,
yaitu adanya keadaan atau peristiwa. Timbulnya kewajiban untuk membayar PPN
ditentukan oleh objek pajak. Kondisi subjek pajak tidak menentukan. PPN tidak
membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Sepanjang
mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan
sama.
3. Multi stage tax.
PPN dikenakan pada setiap mata
rantai jalur produksi dan distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi
objek PPN mulai dari tingkat manufaktur sampai dengan konsumen akhir dikenakan
PPN.
4. PPN terutang dibayar ke kas negara
dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/ Credit Method/
Invoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak
otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas
negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar ke PKP lain
(pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola
ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak
untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke kas negara dinamakan Tax
Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran
jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini
dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen tersebut adalah
faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
5. PPN adalah pajak atas konsumsi
umum dalam negeri.
PPN hanya dikenakan atas konsumsi
barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam negeri.
6. PPN bersifat netral.
Netralitas PPN dibentuk oleh faktor
PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, serta faktor dalam pemungutannya
PPN menganut prinsip tempat tujuan.
Prinsip tempat tujuan PPN dipungut
di tempat barang atau jasa dikonsumsi.komoditi impor akan menanggung beban
pajak yang sama denga produksi barang dalam negeri. Kompetisi antara produk
impor dnegan produk domestic tidka dipengaruhi oleh PPN.
7. Tidak menimbulkan dampak pengenaan
pajak berganda.
PPN dipungut atas nilai tambah saja.
PPN yang dibayar kepada pemasok pada mata rantai sebelumnya dapat
diperhitungkan dengan PPN yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi
berikutnya.
Mekanisme
Pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia
Terkait
dengan mekanisme pemungutan pajak ini ada tiga konsep yang harus dipahami
terlebih dulu, yaitu:
1. Pajak Keluaran adalah Pertambahan
Nilai terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP,
penyerahan JKP, atau ekspor BKP.
2. Pajak Masukan adalah PPN yang
seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan atau penerimaan JKP
dan atau pemanfaatan BKP tidak terwujud dari luar daerah pabean dan atau
pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.
3. Faktru Pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP,
atau bukti pungutan pajak kena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJCB).
Mekanisme
pemungutan PPN dan PPnBM ini mencakup dua hal yaitu pengkreditan pajak
masukan dan restitusi.
1. Pengkreditan Pajak Masukan.
Pajak masukan dalam suatu Masa Pajak
dapat dikreditkan denga pajak keluaran untuk masa pajak yang sama (Pasal 9 ayat
(2) UU PPN). Apabila ketentuan tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya faktur
pajak standar terlambat diterima dari pemasoknya, maka pajak masukan
belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Dapat
dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama tiga bulan setelah
berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang:
a.
Pajak masukan tersebut belum
dibebankan sebagai biaya atau tidak dikapitalisasikan ke dalam harga perolehan
BKP atau JKP yang bersangkutan, dan;
b. Belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal
9 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (8) huruf (i) UU PPN).
Meskipun
jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya tahun buku tersebut telah
terlampaui, pengkreditan pajak masukan tersebut masih dapat dilakukan melalui
pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang bersangkutan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu dua tahun sesudah berakhirnya masa pajak.
2. Restitusi.
Sedangkan dalam mekanisme restitusi
PPN dan atau PPnBM , mulai tahun 2001 PKP boleh mengajukan permohonan restitusi
pada setiap masa pajak. Mekanisme restitusi PPN dan/atau PPnBM adalah sebagai
berikut.
a.
Permohona restitusi disampaikan
kepada Kepala KPP di tempat PKP dikukuhkan.
b. Permohonan restitusi ditentukan satu
permohonan untuk satu masa pajak.
c.
Permohonan restitusi dengan cara
mengisi kolo yang tersedia dalam SPT Masa PPN atau dengan surat tersendiri
(PPnBM atau atas kelebihan pembayaran pajak karena pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang) dan dilampiri faktur pajak masukan dan faktur pajak
keluaran, untuk impor BKP harus ada pemberithuan impor barang, surat setoran
pajak atau bukti pungutan pajak dari DJCB, laporan pemeriksaan surveyor (LPS),
untuk ekspor BKP dilampirkan pemberitahuan ekspor barang (PEB), Bill of
Lading atau Airway Bill dan wesel ekspor. Dalam hal penyerahan BKP
atau JKP kepada pemungut PPN, dilampirkan kontrak surat perintah kerja dan suat
setoran pajak. Sedangkan dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan
meliputi kelebihan pembayaran akibat kompensasi Masa Pajak sebelumnya, maka
yang dilampirkan meliputi seluruh dokumen yang berkenaan dengan kelebihan
pembayaran PPN Masa Pajak yang bersangkutan.
3.3. Subjek dan Objek PPN dan PPnBM
Objek
Pajak pada PPN dan PPnBM
Sesuai
deng pasal 4 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
1. Penyerahan barang kena pajak di
dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan barang yang
dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut ini.
a.
Barang berwujud yang diserahkan
merupakan barang kena pajak.
b. Barang tidak berwujud yang
diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c.
Penyerahan dilakukan di dalam daerah
pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor barang kena pajak.
3. Penyerahan jasa kena pajak di dalam
daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
4. Pemanafaatan barang kean pajak tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Pemanfaatan jasa kena pajak dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6. Ekspor barang kean pajak berwujud
oleh pengusaha kena pajak.
7. Ekspor barang kena pajak tidka
berwujud oleh pengusaha kena pajak.
8. Ekspor jasa kena pajak oleh
pengusaha kena pajak.
Sesuai
dengan Pasal 5 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek PPnBM adalah sebagaimana di
bawah ini.
1. Penyerahan barang kena pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena
pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya.
2. Impor barang kena pajak yang
tergolong mewah.
Sesuai
dengan memori penjelasan Pasal 5 ayai (1) UU PPN dan PPnBM, yang dimaksud
dengan barang kena pajak yang tergolong mewah adalah:
1. Barang tersebut bukan merupakan
barang kebutuhan pokok.
2. Barang tersebut dikonsumsi oleh
masyarakat tertentu.
3. Barang yang pada umumnya dikonsumsi
oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
4. Barang tersebut dikonsumsi untuk
menunjukan status.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas. Salah satu objek PPnBM adalah penyerahan barnag kean
pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan
barang kena pajak yang tergolong mewah.
Subjek
Pajak pada PPN dan PPnBM
Dalam
hukum pajak Indonesia, tidak semua undang-undang pajak memuat secara tegas
siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajal. Hal ini dapat dilihat dalam
Undang-undang PPN dan PPnBM serta Undang-undang Bea Materai. Pada UU PPN dan
PPnBM tidak diatur sama sekali siapa yang menjadi subjek pajak. Walaupun
demikian bila memperhatikan mekanisme pengenaan dan pemungutan PPN dan PPnBM,
maka dapat disimpulkan adanya destinaris pajak (pihak yang dituju oleh
undang-undang pajak untuk menanggung beban akhir pajak). Destinaris pajak
tersebut adalah konsumen akhir. Destinaris pajak ini dapat dikatakan mirip
dengan subjek pajak, yaitu siapa yang akan dikenakan pajak dan menanggung pajak
tersebut.
Seperti
halnya penyebutan subjek pajak, pada Undang-undang PPN dan PPnBM tidak
disebutkan secara tersurat siapa yang menjadi wajib pajak. Tetapi dengan
memperhatikan tata cara pengenaan dan pemungutan PPN maka dapat dikatakan yang
menjadi wajib pajak adalah pengusaha kena pajak yang menyeahkan barang dan
jasa kena pajak kepada pengusaha kena pajak tingkat lanjutan maupun
langsung kepada konsumen akhir. Sedangkan PPnBM, yang menjadi wajib pajak
adalah pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah
ataupun melakukan impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Secara
singkat, subjek pajak pada PPN, adalah pengusaha (Pasal 1 angka 14 UU PPN),
yaitu orang-orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean,
melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
3.4. Perhitungan PPN dan PPnBM
Tarif PPN adalah 10% sedangkan tarif
PPN atas ekspor BKP adalah 0%. Berikut adalah contoh soal yang berkenaan dengan
PPN.
1. Pada bulan Juli 2009 Pengusaha Kena
Pajak QQ melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena
Pajak Ichasenilai Rp 75.000.000,- (Eksklusif Pajak Pertambahan Nilai).
Dalam bulan yang sama Pengusaha Kena Pajak QQ membeli barang kena pajak dari
pengusaha Rizky senilai Rp 50.000.000,-. Hitunglah PPN-K dan PPN-M atas
transaksi tersebut.
Jawab:
Bagi pengusaha kena pajak QQ
Pajak Keluaran:
10% x Rp 75.000.000,- = Rp
7.500.000,- (sebagai pajak masukan bagi B)
Pajak Masukan:
10% x Rp 50.000.000,- = Rp
5.000.000,-
2. Harga jual kendaraan bermotor Rp
500.000.000,- (termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%). Uang muka diterima pada tanggal
10 Agustus 2009 sebesar Rp 200.000.000,-
Kendaraan akan diserahkan tanggal 20
September 2009 dengan kekurangan bayar sebesar Rp 300.000.000,-
Jawab:
PPN dan PPnBM teutang dan harus
dipungut:
a.
Pada saat diterima uang muka tanggal
10 Agustus 2009 PPN yang terutang= 10/30 x 200.000.000,- = Rp 14.000.000,- dan
harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus 2009. PPnBM yang terutang
20/30 x Rp 200.000.000,- = 30.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa
PPnBM bulan Agustus 2009.
b. PPN yang terutang = 10/30 x Rp
300.000.000,- = Rp 21.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan
September 2009.PPnBM yang terutang 20/130 x Rp 300.000.000,- = Rp 45.000.000,-
dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009.
3.5Dasar Pengenaan PPnBM
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, Pengusaha Kena Pajak
pabrikan wajib untuk memungut Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang
terutang, selain PPN tentunya. Begitu juga, apabila orang pribadi atau badan
melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, maka atas impor
tersebut terutang juga PPnBM.Besarnya PPnBM yang terutang dalam dua kondisi di atas adalah sebesar tarif PPnBM dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN 1984, tarif PPnBM bervariasi tergantung kelompok dan jenis BKP yang tergolong mewah. Tarif terendah adalah 10% dan tertinggi dapat mencapai 200%.
Bagaimana dengan DPP untuk PPnBM? Pada dasarnya DPP untuk pemungutan PPnBM adalah sama dengan DPP untuk PPN, yaitu Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, dan Nilai Lain tergantung pada objeknya.[1]
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang ditegaskan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 terkait khusus dengan Dasar Pengenaan Pajak berkaitan dengan PPnBM yang memang disebabkan karena perbedaan sifat antara PPN dan PPnBM.
- PKP Pabrikan Yang Menggunakan BKP Mewah Sebagai
Input
Contoh 1:[3]
PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A telah membayar PPnBM sebesar Rp350.000,00.
Apabila harga produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PT A sebesar Rp40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp150.350.000,00. Dengan demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Pajak yang terutang atas penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut adalah PPN =10% X Rp150.350.000,00 = Rp15.035.000,00 serta PPnBM= 20% X Rp150.350.000,00 = Rp30.070.000,00 (misal tarif PPnBM adalah 20%).
- PKP Pabrikan Menyerahkan BKP Tergolong Mewah
Contoh 2:[5]
PT X yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah menjual BKP tersebut kepada PT A dengan Harga Jual sebesar Rp100.000.000,00. Atas penjualan tersebut dikenai PPN sebesar 10% dan PPnBM sebesar 20%. Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00, tidak termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPnBM (sebesar 20%) yang dikenakan atas penyerahan BKP tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT A adalah sebagai berikut:
DPP = Rp100.000.000,00
PPN = 10% x Rp100.000.000,00 = Rp10.000.000,00
PPnBM=20% x Rp100.000.000,00 = Rp 20.000.000,00
- Penyerahan BKP Mewah Selain Oleh Pabrikan dan
Importir
- PKP
Pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah, dan
- PKP yang
melakukan impor BKP yang tergolong mewah
Contoh 3:
Kelanjutan dari contoh 2 di atas, PT A menjual BKP tersebut kepada PT B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp15.000.000,00. DPP atas penjualan tersebut termasuk PPnBM yang dibayar atas perolehan BKP tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT B adalah sebagai berikut:
Harga beli PT A
|
= Rp 100.000.000,00
|
PPnBM yang telah dibayar
|
= Rp 20.000.000,00
|
Keuntungan yang diharapkan
|
= Rp 15.000.000,00 +
|
Dasar Pengenaan Pajak
|
= Rp 135.000.000,00
|
PPN 10% x Rp135.000.000,00
|
= Rp 13.500.000,00 +
|
Jumlah yang dibayar oleh PT B
|
= Rp 148.500.000,00
|
[2] Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012
[3] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012
[4] Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012
[5] Penjelasan Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012
[6] Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012
[7] Penjelasan Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Pajak pertambahan nilai yang lebih
menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi
daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul
pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang atau
jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian,
pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena
adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh
Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen
tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidka mempengaruhi
persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
2. PPN terutang dibayar ke kas negara
dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/ Credit Method/
Invoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak
otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas
negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar ke PKP lain
(pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola
ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak
untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke kas negara dinamakan Tax
Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran
jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini
dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen tersebut adalah
faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
3. Sesuai deng pasal 4 UU PPN dan PPnBM
yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
a.
Barang berwujud yang diserahkan
merupakan barang kena pajak.
b. Barang tidak berwujud yang
diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c.
Penyerahan dilakukan di dalam daerah
pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Tarif PPN adalah 10% sedangkan tarif
PPN atas ekspor BKP adalah 0%.
4.2. Saran
1. Masyarakat lebih proaktif untuk
megetahui berbagai hal yang berkaitan dengan pajak.
2. Saat berbelanja atau membeli barang
apapun di tempat yang kena pajak harus dilihat apakah pedagang tersbut telah
menaati peraturan dengan benar dengan car membayar pajak ata belum.
3. Pemerintah bersikap bijak dengan
tidak mengkorup uang pajak.
4. Antara pemerintah dan masyarakat
harus ada mekanisme check and balances.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com/PPn dan PPnBM
www.google.com/cara penghitungan pajak PPn dan PPnBM
pajak-ppn-dan-ppnbm.htmlm/2012/11/makalah-hukum-pajak-ppn-dan-ppnbm.html
http://imambikar.blogspot.com/2009/06/makalah-ppn-dan-ppnbm.html
Komentar
Posting Komentar