PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PENGHITUNGANNYA

 PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PENGHITUNGANNYA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang menunjukan peran seta dari seluruh masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan pengeluaran negara yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian bangsa untuk mencapai cita-cita luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada negara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak dinggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak, baik dengan usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal yang mendasar dan harus diketahui adalah dasar pengenaan pajak. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak disesuaikan dengan jenis pajak yang akan ditanggung oleh seorang wajib pajak. Biasanya apa yang mnejadi dasar pengenaan pajak diatur dalam hukum pajak material. Sesuai dengan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang PPN dan PPnBM, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai yang lain yang dipakai sebagai dasar menghitung pajak terutang.
Pemungutan pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat dan pemerintah, yang dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak. Hal ini melahirkan adanya hukum pajak di Indonesia.
1.2.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan ini yaitu apa pengertian dari PPN dan PPnBM, seperti apa karakteristik PPN dan PPnBM serta mekanisme pemungutannya di Indonesia, siapa saja yang termasuk objek dan subjek PPN, dan bagaimana perhitungan PPN menurut ilmu hukum pajak. Untuk memudahkan analisis maka rumusan masalah dituangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan PPN dan PPnBM?
2.      Seperti apa karakteristik dan mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM?
3.      Apa yang dimaksud dengan subjek dan objek PPN?
4.      Bagaimana teknik perhitungan PPN dan PPnBM?
Sub-sub masalah tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai pertanyaan-pertanyaan pokok dalam laporan.
1.3.    Tujuan
Tujuan umum dari dususunnya laporan ini adalah untuk memahami perhitungan dan berbagai hal yang berkaitan dengan PPN dan PPnBM. Adapun tujuan khusus adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui dan memahami pengertian PPN dan PPnBM dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Mengetahui dan memahami karakteristik serta mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM.
3.      Mengetahui siapa saja yang dikategorikan sebagai subjek dan objek PPN dan PPnBM.
4.      Mengetahui dan memahami cara menghitung pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.

1.4.    Manfaat
Laporan ini diharapkan bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Sekecil apapun itu, kami berharap bisa berkontribusi untuk kemajuan bangsa dalam pengelolaan pajak. Manfaat yang kami harapkan antara lain:
1.      Mensosialisasikan kepada masyarakat tentang apa itu pajak dan masyarakat menjadi paham.
2.      Memberi tahu kepada masyarakat tentang PPN dan PPnBM sehingga masyarakat menjadi sadar akan kewajibannya membayar pajak.
3.      Berkontribusi dalam pengelolaan pajak yang sehat dan dinamis.
4.      Mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui pajak.

BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.
Pajak dipungut secara paksa demi kesejahteraan rakyat, hal ini sesuai dengan pernytaan Prof. Dr. Adriani tentang definisi pajak.
 “Pajak adalah adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung.”
Pajak selain dipungut secara paksa, pajak juga merupakan suatu alih bentuk kekayaan dari masyarakat kepada negara. Hal ini senada dengan pendapat dari Prof. Dr. Soemitro, S.H. yang menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara.
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang). Artinya dapat dipaksakan  dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.”
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya.

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1.    Pengertian PPN dan PPnBM
Pajak pertanbahan nilai atas barang dan jasa adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak tidak terwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, atau ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
PPN secara efektif mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 April 1985, walaupun berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
PPN ditetapkan dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.
Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba perusahaan adalah merupakan unsure nilai tambah. Jadi nilai tambah dapat diperoleh dalam kegiatan industri maupun perdagangan, bukan diperoleh dari perubahan bentuk atau sifat barang.
Nilai tambah dapat dirumuskan sebagai hasil penjumlahan unsur-unsur biaya dan laba dalam proses produksi atau distribusi barang atau jasa. Dalam dunia perdagangan nilai tambah dapat diketahui dari pengurangan harga jual dengan harga beli.
Pajak pertambahan nilai ditetapkan untuk mengganti peranan pajak penjualan, karena PPN tidak mengenal pengenaan pajak berganda. Hal ini dikarenakan jumlah PPN yang disetor kepada negara adalah selisih lebih antara PPN yang dipungut PKP dengan PPN yang dibayar ke PKP pada waktu membeli barang atau jasa. Selisih tersebut yang disetor ke kas negara adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah.
Pajak pertambahan nilai yang lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi.  Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
Dengan mengenakan PPN atas nilai tambah dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkna oleh Pengusaha Kena Pajak maka kekhawatiran timbul efek pengenaan pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimaksud dengan nilai tambah adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi penyusutan, bunga modal, gaji, upah, sewa telepon, listrik serta pengeluaran lainnya dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.
Pajak penjualan atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah. Sebelum beranjak lebih jauh kita harus terlebih dahulu memahami istilah impor.
Istilah impor didefinisikan dalam UU PPN 1984 adalah semua kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean. Definisi ini menunjukan bahwa kegiatan memasukan barang dari pelabuhan bebas atau bonded area ke daerah pabean adalah pula termasuk pemgertian impor. Demikian pula kegiatan memasukan barang dari luar negeri ke pelabuhan bebas atau bonded area adalah bukan termasuk pengertian impor. Berarti pula istilah impor adalah semua kegiatan yang memasukan barang dari luar negeri ke daerah Republik Indonesia, kecuali Pelabuhan Bebas.
Namun, sesuai dengan sifat pajak pertambahan nilai sebagai pajak untuk konsumsi dalam negeri maka dari kedua kegiatan tersebut hanya kegiatan impor yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai. Terhadap kegiatan ekspor, meskipun pada dasarnya tidak terhutang pajak pertambahan nilai, namun sebagai sarana untuk menopang kegiatan ekspor maka atas ekspor tersebut dikenakan pajak pertambahan nilai dengan tarif 0%, sehingga eksportir yang telah memilih menjadi PKP dapat mengkreditkan pajak masukannya.
Kembali pada bahasan tentang PPnBM. PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor atau pada saat penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha kena pajak pabrikan. Penyerahan berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. Hal ini membuat PPnBM tidak dapat dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya. Dengan demikian pembayaran PPnBM oleh pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan atau yang melakukan impor barang kena pajak yang tergolong mewah dapat dimasukan ke dalam harga jual barang tersebut. Dalam hal barang kena pajak yang tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang telah dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali atau direstitusi oleh wajib pajak.
Pengenaan PPnBM atas impor barang kena pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari bagian dari barang kena pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi sebelumnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa walaupun yang membayar PPnBM adalah pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan ataupun pihak yang melakukan impor kena pajak yang tergolong mewah sebenarnya pada akhirnya bukan mereka yang menanggung beban pajak tersebut.  Karena PPnBM yang terutang tersebut pada akhirnya dimasukan sebagai unsur biaya yang menambah harga barang maka yang menanggung beban pajak tersebut pada akhirnya adalah konsumen terakhir. Karena pembebanan pajak yang dapat digeserkan kepada pihak lain merupakan cirri dari pajak tidak langsung maka PPnBM mrupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang saat ini diberlakukan di Indonesia.
3.2.     Karakteristik PPN dan PPnBM
Karakteristik PPN dan PPnBM
Apabila melihat dari pengertian PPN kita bisa menyimpulkan karekteristik dan jiwa PPN adalah sebagai berikut.
1.      Merupakan pajka tidka langsung yang dipungut pada setiap mata rantai jalur perusahaan.
2.      Bersifat netral dan diharapkan tidka menimbulkan efek pajak berganda.
3.      Merupakan pajak konsumsi di dalam negeri.
4.      Mekanisme yang diharapkan sederhana dengan menggunakan tarif tunggal.
5.      Merupakan pajak objektif.
Adapun penjelasan dari karakteristik dan jiwa PPN dan PPnBM yaitu seperti berikut ini.
1.      PPN merupakan pajak tidak langsung.
Konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak berada pada pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah pengusaha kena pajak yang bertindak selaku penjual barang kena pajak atau pengusaha kena pajak. Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa kena pajak.
Sudut pandang yuridis ini membawa konsekuensi filosofi bahwa dalam pajak tidka langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut kepada kas negara.
2.      PPN sebagai pajak objektif.
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya keadaan atau peristiwa. Timbulnya kewajiban untuk membayar PPN ditentukan oleh objek pajak. Kondisi subjek pajak tidak menentukan. PPN tidak membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama.
3.      Multi stage tax.
PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat manufaktur sampai dengan konsumen akhir dikenakan PPN.
4.      PPN terutang dibayar ke kas negara dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/ Credit Method/ Invoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar ke PKP lain (pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke kas negara dinamakan Tax Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen tersebut adalah faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
5.      PPN adalah pajak atas konsumsi  umum dalam negeri.
PPN hanya dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam negeri.
6.      PPN bersifat netral.
Netralitas PPN dibentuk oleh faktor PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, serta faktor dalam pemungutannya PPN menganut prinsip tempat tujuan.
Prinsip tempat tujuan PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi.komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama denga produksi barang dalam negeri. Kompetisi antara produk impor dnegan produk domestic tidka dipengaruhi oleh PPN.
7.      Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda.
PPN dipungut atas nilai tambah saja. PPN yang dibayar kepada pemasok pada mata rantai sebelumnya dapat diperhitungkan dengan PPN yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi berikutnya.
Mekanisme Pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia
Terkait dengan mekanisme pemungutan pajak ini ada tiga konsep yang harus dipahami terlebih dulu, yaitu:
1.      Pajak Keluaran adalah Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.
2.      Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan atau penerimaan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak terwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.
3.      Faktru Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, atau bukti pungutan pajak kena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB).
Mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM ini mencakup dua hal yaitu pengkreditan pajak  masukan dan restitusi.
1.      Pengkreditan Pajak Masukan.
Pajak masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan denga pajak keluaran untuk masa pajak yang sama (Pasal 9 ayat (2) UU PPN). Apabila ketentuan tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya faktur  pajak standar terlambat diterima dari pemasoknya, maka pajak masukan belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang:
a.       Pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau tidak dikapitalisasikan ke dalam harga perolehan BKP atau JKP yang bersangkutan, dan;
b.      Belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal 9 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (8) huruf (i) UU PPN).
Meskipun jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya tahun buku tersebut telah terlampaui, pengkreditan pajak masukan tersebut masih dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam jangka waktu dua tahun sesudah berakhirnya masa pajak.
2.      Restitusi.
Sedangkan dalam mekanisme restitusi PPN dan atau PPnBM , mulai tahun 2001 PKP boleh mengajukan permohonan restitusi pada setiap masa pajak. Mekanisme restitusi PPN dan/atau PPnBM adalah sebagai berikut.
a.       Permohona restitusi disampaikan kepada Kepala KPP di tempat PKP dikukuhkan.
b.      Permohonan restitusi ditentukan satu permohonan untuk satu masa pajak.
c.       Permohonan restitusi dengan cara mengisi kolo yang tersedia dalam SPT Masa PPN atau dengan surat tersendiri (PPnBM atau atas kelebihan pembayaran pajak karena pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang) dan dilampiri faktur pajak masukan dan faktur pajak keluaran, untuk impor BKP harus ada pemberithuan impor barang, surat setoran pajak atau bukti pungutan pajak dari DJCB, laporan pemeriksaan surveyor (LPS), untuk ekspor BKP dilampirkan pemberitahuan ekspor barang (PEB), Bill of Lading atau Airway Bill dan wesel ekspor. Dalam hal penyerahan BKP atau JKP kepada pemungut PPN, dilampirkan kontrak surat perintah kerja dan suat setoran pajak. Sedangkan dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan meliputi kelebihan pembayaran akibat kompensasi Masa Pajak sebelumnya, maka yang dilampirkan meliputi seluruh dokumen yang berkenaan dengan kelebihan pembayaran PPN Masa Pajak yang bersangkutan.

3.3.    Subjek dan Objek PPN dan PPnBM
Objek Pajak pada PPN dan PPnBM
Sesuai deng pasal 4 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
1.      Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut ini.
a.       Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak.
b.      Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c.       Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean.
d.      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2.      Impor barang kena pajak.
3.      Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
4.      Pemanafaatan barang kean pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5.      Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6.      Ekspor barang kean pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak.
7.      Ekspor barang kena pajak tidka berwujud oleh pengusaha kena pajak.
8.      Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Sesuai dengan Pasal 5 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek PPnBM adalah sebagaimana di bawah ini.
1.      Penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.      Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Sesuai dengan memori penjelasan Pasal 5 ayai (1) UU PPN dan PPnBM, yang dimaksud dengan barang kena pajak yang tergolong mewah adalah:
1.      Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
2.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
3.      Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
4.      Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status.
Sebagaimana telah disebutkan di atas. Salah satu objek PPnBM adalah penyerahan barnag kean pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah.
Subjek Pajak pada PPN dan PPnBM
Dalam hukum pajak Indonesia, tidak semua undang-undang pajak memuat secara tegas siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajal. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang PPN dan PPnBM serta Undang-undang Bea Materai. Pada UU PPN dan PPnBM tidak diatur sama sekali siapa yang menjadi subjek pajak. Walaupun demikian bila memperhatikan mekanisme pengenaan dan pemungutan PPN dan PPnBM, maka dapat disimpulkan adanya destinaris pajak (pihak yang dituju oleh undang-undang pajak untuk menanggung beban akhir pajak). Destinaris pajak tersebut adalah konsumen akhir. Destinaris pajak ini dapat dikatakan mirip dengan subjek pajak, yaitu siapa yang akan dikenakan pajak dan menanggung pajak tersebut.
Seperti halnya penyebutan subjek pajak, pada Undang-undang PPN dan PPnBM tidak disebutkan secara tersurat siapa yang menjadi wajib pajak. Tetapi dengan memperhatikan tata cara pengenaan dan pemungutan PPN maka dapat dikatakan yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha kena pajak yang menyeahkan barang dan jasa  kena pajak kepada pengusaha kena pajak tingkat lanjutan maupun langsung kepada konsumen akhir. Sedangkan PPnBM, yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah ataupun melakukan impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Secara singkat, subjek pajak pada PPN, adalah pengusaha (Pasal 1 angka 14 UU PPN), yaitu orang-orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
3.4.    Perhitungan PPN dan PPnBM
Tarif PPN adalah 10% sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0%. Berikut adalah contoh soal yang berkenaan dengan PPN.
1.      Pada bulan Juli 2009 Pengusaha Kena Pajak QQ melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak  Ichasenilai Rp 75.000.000,- (Eksklusif Pajak Pertambahan Nilai). Dalam bulan yang sama Pengusaha Kena Pajak QQ membeli barang kena pajak dari pengusaha Rizky senilai Rp 50.000.000,-. Hitunglah PPN-K dan PPN-M atas transaksi tersebut.
Jawab:
Bagi pengusaha kena pajak QQ
Pajak Keluaran:
10% x Rp 75.000.000,- = Rp 7.500.000,- (sebagai pajak masukan bagi B)
Pajak Masukan:
10% x Rp 50.000.000,- = Rp 5.000.000,-

2.      Harga jual kendaraan bermotor Rp 500.000.000,- (termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%). Uang muka diterima pada tanggal 10 Agustus 2009 sebesar Rp 200.000.000,-
Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2009 dengan kekurangan bayar sebesar Rp 300.000.000,-
Jawab:
PPN dan PPnBM teutang dan harus dipungut:
a.       Pada saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2009 PPN yang terutang= 10/30 x 200.000.000,- = Rp 14.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus 2009. PPnBM yang terutang 20/30 x Rp 200.000.000,- = 30.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009.
b.      PPN yang terutang = 10/30 x Rp 300.000.000,- = Rp 21.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan September 2009.PPnBM yang terutang 20/130 x Rp 300.000.000,- = Rp 45.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009.

3.5Dasar Pengenaan PPnBM

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, Pengusaha Kena Pajak pabrikan wajib untuk memungut Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang, selain PPN tentunya. Begitu juga, apabila orang pribadi atau badan melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, maka atas impor tersebut terutang juga PPnBM.
Besarnya PPnBM yang terutang dalam dua kondisi di atas adalah sebesar tarif PPnBM dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN 1984, tarif PPnBM bervariasi tergantung kelompok dan jenis BKP yang tergolong mewah. Tarif terendah adalah 10% dan tertinggi dapat mencapai 200%.
Bagaimana dengan DPP untuk PPnBM? Pada dasarnya DPP untuk pemungutan PPnBM adalah sama dengan DPP untuk PPN, yaitu Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, dan Nilai Lain tergantung pada objeknya.[1]
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang ditegaskan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 terkait khusus dengan Dasar Pengenaan Pajak berkaitan dengan PPnBM yang memang disebabkan karena perbedaan sifat antara PPN dan PPnBM.
  1. PKP Pabrikan Yang Menggunakan BKP Mewah Sebagai Input
Apabila PKP Pabrikan yang memproduksi BKP yang tergolong mewah ternyata dalam bahan baku atau bahan pembantunya menggunakan BKP yang tergolong mewah juga, maka termasuk dalam Harga Jual adalah PPnBM yang telah dibayar atas bahan baku atau bahan pembantu (input) yang tergolong BKP mewah tersebut.[2]
Contoh 1:[3]
PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A telah membayar PPnBM sebesar Rp350.000,00.
Apabila harga produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PT A sebesar Rp40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp150.350.000,00. Dengan demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Pajak yang terutang atas penyerahan BKP  yang tergolong mewah tersebut adalah PPN =10% X Rp150.350.000,00 = Rp15.035.000,00 serta PPnBM= 20% X Rp150.350.000,00 = Rp30.070.000,00 (misal tarif PPnBM adalah 20%).
  1. PKP Pabrikan Menyerahkan BKP Tergolong Mewah
DPP atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP pabrikan,  atau atas impor BKP yang tergolong mewah, adalah tidak termasuk PPN dan PPnBM  yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut.[4]
Contoh 2:[5]
PT X yang menghasilkan BKP  yang tergolong mewah menjual BKP tersebut kepada PT A dengan Harga Jual sebesar Rp100.000.000,00. Atas penjualan tersebut dikenai PPN sebesar 10% dan PPnBM sebesar 20%. Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00, tidak termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPnBM (sebesar 20%) yang dikenakan atas penyerahan BKP tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT A adalah sebagai berikut:
DPP = Rp100.000.000,00
PPN = 10% x Rp100.000.000,00 = Rp10.000.000,00
PPnBM=20% x Rp100.000.000,00 = Rp 20.000.000,00
  1. Penyerahan BKP Mewah Selain Oleh Pabrikan dan Importir
DPP  atas penyerahan BKP  yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP selain:
  • PKP Pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah, dan
  • PKP yang melakukan impor BKP yang tergolong mewah
adalah termasuk PPnBM  yang dikenakan atas perolehan atau atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut.
Contoh 3:
Kelanjutan dari contoh 2 di atas, PT A menjual BKP tersebut kepada PT B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp15.000.000,00. DPP atas penjualan tersebut termasuk PPnBM yang dibayar atas perolehan BKP tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT B adalah sebagai berikut:
Harga beli PT A
= Rp 100.000.000,00
PPnBM  yang telah dibayar
= Rp   20.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan
= Rp   15.000.000,00  +
Dasar Pengenaan Pajak
= Rp 135.000.000,00
PPN  10% x Rp135.000.000,00
= Rp   13.500.000,00  +
Jumlah yang dibayar oleh PT B
= Rp 148.500.000,00
  [1] Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012
[2] Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012
[3] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012
[4] Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012
[5] Penjelasan Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012
[6] Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012
[7] Penjelasan Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012






BAB 4
PENUTUP
4.1.    Kesimpulan
1.      Pajak pertambahan nilai yang lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi.  Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidka mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
2.      PPN terutang dibayar ke kas negara dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/ Credit Method/ Invoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar ke PKP lain (pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke kas negara dinamakan Tax Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen tersebut adalah faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
3.      Sesuai deng pasal 4 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
a.       Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak.
b.      Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c.       Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean.
d.      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4.      Tarif PPN adalah 10% sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0%.

4.2.     Saran
1.      Masyarakat lebih proaktif untuk megetahui berbagai hal yang berkaitan dengan pajak.
2.      Saat berbelanja atau membeli barang apapun di tempat yang kena pajak harus dilihat apakah pedagang tersbut telah menaati peraturan dengan benar dengan car membayar pajak ata belum.
3.      Pemerintah bersikap bijak dengan tidak mengkorup uang pajak.
4.      Antara pemerintah dan masyarakat harus ada mekanisme check and balances.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com/cara penghitungan pajak PPn dan PPnBM
pajak-ppn-dan-ppnbm.htmlm/2012/11/makalah-hukum-pajak-ppn-dan-ppnbm.html
http://imambikar.blogspot.com/2009/06/makalah-ppn-dan-ppnbm.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Babtis (Tardidi) di Gereja HKBP

Peta