Pengelolaan Sumer Daya Lahan
1
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN
Oleh
Sri Astuti Soedjoko
Latar Belakang
Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (Lanscape) yang meliputi
lingkungan
fisik
termasuk iklim, topografi / relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami
yang
semuanya
secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan
lahan
di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo seperti pada umumnya di DAS yang lain
secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi: hutan, tegalan, perkebunan, sawah,
pemukiman
dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya
didasarkan
pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan
lahan
yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan,
sehingga
dapat
diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Untuk lebih
memperluas
pola pengelolaan sumberdaya lahan diperlukan tehnologi usaha tani yang
tidak
terlalu terikat dengan pola penggunaan lahan dan akan lebih parah lagi hasilnya
apabila
pembangunan pertanian masih melalui pendekatan sektoral tanpa ada integrasi
dalam perencanaan maupun implementasinya. Agroforestry adalah pola
usaha tani
produktif
yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi.
Betapa
pentingnya masalah konservasi ini perlu diperhatikan apabila mengingat bahwa
usaha
tani di Indonesia ini ditangani oleh petani kecil apabila ditinjau dari
kepemilikan
lahan.
Pemilikan lahan di DAS Solo seperti halnya di DAS lain rata-rata adalah kecil
dan
kemungkinan
besar akan selalu berkurang dengan selalu bergulirnya waktu.
Kesadaran
akan perlunya konservasi lahan sebenarnya sudah sejak lama, akan
tetapi
selalu saja ada kesenjangan antara keinginan para petani pemilik lahan dengan
para
ahli
konservasi tanah karena biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani
untuk
melaksanakan
perlakuan-perlakuan yang diperlukan. Hal ini disebabkan karena pada
pendekatan
lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada pembuatan bangunan2
bangunan
teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering dilakukan dengan cara
melarang
orang bertanam di lahan miring, dll.
Dewasa
ini Young (1997) dalam Sabarnurdin (2002) menyatakan bahwa ada
pendekatan
baru konservasi tanah yang disebut land husbandry yang diwujudkan dalam
usaha
tani dengan pendekatan konservasi. Ciri dari pendekatan ini adalah:
1.
Memfokuskan pada hilangnya tanah dan pengaruhnya terhadap hasil tanaman
sehingga
perhatian utamanya bukan lagi pada bangunan fisik tetapi kepada metode
biologis
untuk konservasi seperti halnya penanaman penutup lahan.
2.
Memadukan tindakan konservasi tanah dan konservasi air sehingga masyarakat
mendapat
keuntungan langsung dari usaha tersebut.
3.
Melarang bertani dilereng bukan penyelesaian masalah. Tindakan seperti ini
tidak
bisa
diterima secara sosial dan politis. Yang harus dicari adalah metode bertani
yang
bisa
mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan alam.
4.
Konservasi lahan akan berhasil bila ada partisipasi dari masyarakat terutama
para
petani.
Motivasi masyarakat akan timbul bila mereka melihat keuntungan yang akan
diperoleh.
5.
Yang terpenting lagi adalah perlu adanya pemahaman bahwa kegiatan konservasi
lahan
adalah bagian integral dari usaha perbaikan sistem usaha tani.
Agroforestry
sebagai sistem penggunaan lahan makin diterima oleh masyarakat
karena
terbukti menguntungkan bagi pembangunan sosial ekonomi, sebagai ajang
pemberdayaan
masyarakat petani dan pelestarian sumberdaya alam dan pengelolaan
lingkungan
daerah pedesaan. Pola ini dirasa sangat cocok dikembangkan di DAS Solo
Hulu
yang banyak kawasan bertopografi miring, sehingga banyak erosi, pemilikan lahan
sempit
dengan kepadatan agraris tinggi ± 6 orang / Ha (CDMP, 2001).
Permasalahan
Perilaku
DAS mencakup sifat-sifat morfometri dan hidrologis. Morfometri DAS
sangat
ditentukan oleh kondisi fisiografi (topografi dan bantuan) dan iklim terutama
hujan.
Sifat morfometri antara antara lain pola alur sungai, bentuk DAS, elevasi dan
kemiringan
DAS. Di Sub DAS Bengawan Solo Hulu terdapat Waduk Gadjah Mungkur
dengan
daerah tangkapan seluas 1350 Km2 dengan 7 buah sungai utama didalamnya.
3
Daerah
tangkapan (DTA) Waduk Gadjah Mungkur terdiri dari beberapa satuan fisiografi
yaitu
satuan Gunung Lawu, Pegunungan Batur Agung, Pegunungan Selatan Berbatu
Vulkanis
serta Pegunungan Selatan Berbatu Gamping.
1.
Di DTA Waduk Gadjah Mungkur telah terjadi erosi cukup berat yang ditandai
adanya
permunculan batuan induk, erosi parit dan sedimentasi. Dari 102 Sub DAS di
DAS
Solo yang meliputi 23 wilayah kabupaten, ada 28 Sub DAS yang memiliki potensi
erosi
besar. Erosi aktual yang terjadi terkecil adalah 4,72 ton/Ha/th di Sub DAS
Precel
dan
erosi terbesar terjadi di Sub DAS Dengkeng sebesar 195,84 ton/Ha/th (Anonimus,
2002).
2.
Daerah tangkapan air antara Gunung Merapi dan Lawu lahannya sangat subur
sehingga
menyebabkan perkembangan pemukiman dan industri di wilayah ini sangat
pesat.
Dampak yang terjadi adalah limbah rumah tangga dan limbah pabrik akan
mencemari
air tanah, koefisien aliran akan meningkat sehingga erosi pun secara potensial
meningkat
pula.
3.
Anak sungai Bengawan Solo di daerah Sragen, Ngawi, di bagian utara berasal
dari
daerah Pegunungan Kendeng bertipe intermitten (mengalir pada waktu musim
hujan)
karena daerah tangkapan air tidak terlalu luas tingkat kelulusan batuan rendah
(napal),
serta curah hujan ± 2000 mm/th dengan bulan kering 5-6 bulan dengan
koefisiensi
aliran tinggi dan langka air tanah.
4.
Bengawan Madiun mengalir dari daerah Kabupaten Ponorogo, Madiun dan
Magetan.
Dibagian hulu di daerah kabupaten Ponorogo kondisi lahan sangat kritis
ditandai
adanya erosi parit, longsor lahan dan munculnya batuan induk (Anonimus,
2002).
5.
Daerah Bengawan Solo Hilir secara fisiografi berupa Pegunungan Rembang di
sebelah
utara sungai, Pegunungan Kendeng di sebelah selatan sungai dan dataran aluvial.
Daerah
ini sering menghadapi masalah banjir dan sering terjadi intrusi air laut
terutama
pada
musim kemarau.
Permasalahan
- permasalahan di atas sangat erat kaitannya dengan pengelolaan
lahan.
Sudah barang tentu memerlukan suatu tehnologi sederhana yang mungkin dapat
diterapkan
oleh para petani secara langsung misal pola agroforestry seperti telah
diterangkan
di halaman terdahulu.
4
Maksud, Tujuan dan Kegunaan
1. Maksud.
Sosialisasi
Aspek Pengelolaan lahan adalah untuk memberikan gambaran kepada
berbagai
stakeholder utamanya masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya
pengelolaan
lahan yang lestari dan terpadu.
2. Tujuan
a.
Pola Agroforestry menjadi pola pilihan masyarakat dalam mengelola sumberdaya
lahan
yang lestari dan terpadu.
b.
Akan segera muncul kemandirian masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan
karena
pola Agroforestry merupakan pola yang sudah dikenal masyarakat sejak
lama.
3. Kegunaan
a.
Bagi Masyarakat
1.
Tersedianya lapangan pekerjaan yang terus menerus karena adanya deversitas
kegiatan
dalam mengelola agroforestry.
2.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat akan terjadi dengan adanya
deversifikasi
hasil pertanian, kehutanan dan peternakan.
b.
Bagi Swasta
1.
Tersedianya bahan baku industri kayu secara lestari bagi industri skala kecil
menengah.
2.
Tersedianya bahan baku industri pertanian karena pola agroforestry juga
mencakup
tanaman agroindustri misal tanaman perkebunan dan buah.
3.
Berkembangnya usaha peternakan.
c.
Bagi Pemerintah Daerah
1.
Berkurangnya masalah pencari kerja.
2.
Meningkatnya Pendapatan Asli Daerah
5
d.
Bagi Daerah Aliran Sungai
1.
Lebih terkendalinya proses erosi dan banjir.
2.
Terbentuknya ekosistem yang lebih nyaman bagi kehidupan.
Metode Pengembangan Fungsi Pengelolaan Lahan
1. Tehnik Pengelolaan Lahan yang Produktif dan Konservatif Melalui
Agroforestry
Berubahnya
Lanskap akibat adanya tekanan penduduk dan intensifikasi
pemanfaatan
sumberdaya lahan, mengarah pada pengakuan terhadap agroforestry sebagai
al;ternatif
sistem pengelolaan lahan dalam rangka pembangunan berkelanjutan baik
didataran
tinggi maupun di dataran rendah (Sabarnurdin, 2002).
Berbeda
dengan bidang pertanian maupun kehutanan murni, kontribusi
agroforestry
dalam bidang sosial ekonomi bisa lebih bervariasi karena komponen
usahanya
lebih beragam. Tambahan lagi selain membuka kemungkinan untuk
meningkatkan
efisiensi ekonomi dan peningkatan taraf hidup mampu juga menimbulkan
multiplier
effect dan agroforestry juga memperbaiki serta meningkatkan kondisi
lingkungan
(Anonimus, 2000). Kelemahan para petani pada umumnya adalah pada sistem
pemasaran
hasil.
Dengan
menawarkan kombinasi hasil, produktivitas lebih lestari. Adanya
komponen
pohon yang bisa diatur pemungutan hasilnya hanya apabila diperlukan, karena
apabila
tidak diperlukan bisa dibiarkan hidup dengan tidak kawatir rusak dan bahkan
nilainya
akan bertambah. Kelestarian hasil lebih diperjelas dengan tambahan adanya
produksi
bidang peternakan, sedang konsumsi harian dapat ditopang oleh produk
tanaman
pertanian. Produk agroforestry bisa lebih ditingkatkan menjadi produk yang
diorientasikan
pada agribisnis dengan dukungan dari swasta atau pemerintah daerah
misalkan
menyediakan pabrik pengolahan hasil misal pabrik pengelolaan nanas atau
komoditas
lainnya dalam skala kecil menengah.
Peluang
bagi digunakannya sistem agroforestry dalam pengelolaan lahan juga
disebabkan
karena (Sabarnurdin, 2002) :
6
1.
Agroforestry adalah metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan
penutup
tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi
tanah
dengan konservasi air.
2.
Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan
meningkatkan
produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi.
3.
Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterimanya
konservasi
oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri. Digunakannya
tehnik
diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara
partisipatif
merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry.
2. Hutan Sebagai Pengendali Daur Air dan Longsor Lahan
Pada
masa-masa tertentu terutama pada awal musim hujan atau pada akhir musim
hujan
kita sering mendengar dan membaca berita tentang banjir dan longsor lahan di
beberapa
daerah. Kejadian ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan kita semua.
Kejadian
demi kejadian akhir-akhir ini terus susul menyusul dimulai dari Cilacap,
Purworejo,
Kulonprogo, Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Menado. Peristiwa banjir
dan
longsor lahan telah menelan korban jiwa dan harta benda tidak sedikit sehingga
muncul
pertanyaan mengapa terjadi demikian dan bagaimana cara mengantisipasinya
sehingga
peristiwa alam tersebut dapat dihindari atau dikurangi dampak negatifnya.
DAS
Solo seperti halnya Indonesia pada umumnya sebagai suatu daerah yang
beriklim
tropis. Di beberapa tempat mempunyai kecenderungan berintensitas hujan
tinggi,
di beberapa tempat memiliki bentuk lahan yang bergelombang, berbukit maupun
bergunung
dengan kondisi yang punya potensi longsor lahan yang cukup besar.
Disamping
itu persebaran penduduk sering tidak memperhatikan tata ruang wilayah atau
tata
ruang desa, maka untuk menghindari adanya korban, perlu dilakukan usaha-usaha
agar
masyarakat terhindar dari malapetaka pada kesempatan lain. Usaha itu bisa dalam
bentuk
perlu disusunnya kembali tata ruang desa atau dengan memberikan penyuluhan
kepada
masyarakat bagaimana cara mendeteksi, antisipasi dan mengatasi peristiwa yang
sangat
memilukan tersebut. Disamping itu juga bisa dengan memperbaiki pola
pengelolaan
lahannya yang lebih ramah lingkungan sehingga banjir, kekeringan dan
longsor
lahan tidak terjadi. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah
7
atau
bahkan bersahabat (memiliki tingkat adaptasi yang tinggi) dengan banjir dan
longsor
lahan
dalam lingkungan ekologi yang menyejukkan.
Pengendalian
daur air, erosi dan longsor lahan merupakan suatu kegiatan yang tak
terpisahkan
bagai ke dua sisi mata uang yang merupakan satu kesatuan. Akhir-akhir ini
masyarakat
semakin banyak menopangkan harapan pada hutan untuk mengatasi masalah
pengendalian
daur air, erosi dan longsor lahan. Harapan yang sangat perlu didukung
bersama
untuk dapat mewujudkannya karena banyak kelebihan ekosistem hutan untuk
dapat
mewujudkan harapan tersebut. Akan tetapi perlu disadari bersama bahwa nilai
perannya
terhadap ketiga hal tersebut diatas sangat ditentukan oleh luas, jenis, watak
petumbuhan,
keadaan pertumbuhan dan struktur hutannya. Disamping itu untuk suatu
keadaan
ekosistem hutan tertentu peran tersebut dibatasi oleh keadaan iklim, geologi,
watak
tanah dan geomorfologi. Sebagai contoh untuk kawasan yang secara geologis
rawan
longsor lahan, bagi daerah yang mempunyai intensitas hujan yang tinggi dan
lereng
yang terjal, justru dengan penutupan hutan terlalu rapat dan pohonnya
besar-besar,
malahan
akan menyebabkan terjadinya longsor lahan. Kenyataan ini menyadarkan kita
semua
bahwa kita perlu mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi,
daur
air dan longsor lahan. Dalam usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
maka
didalam
membangun hutan maupun agroforestry perlu memperhatikan faktor tanah,
iklim,
tanaman, geologi dan geomorfologi serta masalah kependudukan untuk mengenali
watak
run off potensial, stabilitas lahan dan tak kalah pentingnya adalah pengenalan
atas
watak
tanaman diantaranya yang berupa evapotranspirasi, dekomposisi seresah,
pertumbuhan
dan beban mekanik tanaman, seperti yang dapat diperiksa pada Gambar di
bawah
ini.
8
Diagram
Alir Tahapan Pembuatan Rancangan Reboisasi dan Penghijauan
untuk
Pengendalian Daur Air dan Longsor Lahan secara Teknik Biologik
(Pusposutardjo,
1984, dimodifikasi) dalam Sri Astuti Soedjoko (2002).
Analisis
Mekanik
Tanah
Watak
Mekanik
Tanah
PENDUDUK
TANAH TANAMAN IKLIM Geologik &
Geomorfologik
Analisis
Sosial
Ekonomi
dan
Budaya
Analisis
Fisik
&
Kimiawi
Analisis
Et,
Watak
Pertumbuhan,
BebanTanaman
Analisis
Etp
Potensial
&
Neraca
Air
Analisis
Geologik
&
Geomorfologik
Lahan
Potensi
Kesesuaian
Kepentingan
Potensi,
Fisik
&
Kimiawi
Deskripsi
Watak
Tanaman
Deskripsi
iklim
Watak
Geologik
&
Geomorfoligik
lahan
Analisis
Kesesuaian
Tanaman
Analisis
Watak
Run
Off Potensial
&
Stabilitas lahan
Analisis
Kesesuaian
Kepentingan
Analisis
Kesesuaian
Tanah
Tanaman-tanaman
terpilih
Terhadap
Kesesuaian
Iklim
Tanaman
Terpilih
Terhadap
Kesesuaian
Iklim,
Tanah dan
Kepentingan
Rancangan
tanaman
Jenis,
Kerapatan,
dll, dan
Rancangan
Mekanik
Pola
Reboisasi dan
Penghijauan
Teknik
Biologik
9
Berbagai
gejala yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada umumnya,
dapatlah
diindikasikan bahwa masyarakat kita saat ini sedang mulai mengalami
perubahan
yang kemungkinan akan menampakkan tuntutan yang berbeda dengan
keadaan
sebelumnya. Disamping itu pertumbuhan dan mobilitas penduduk yang cepat
akan
berpacu dengan ketidak seimbangan antara ketersediaan sumberdaya alam yang
murah
dengan meningkatnya kebutuhan. Disamping itu tingginya jumlah penduduk yang
juga
diikuti oleh tingginya laju pertambahan penduduk akan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan
akan lahan untuk produksi dan pemukiman maupun meningkatnya kebutuhan
akan
sumberdaya air yang sangat penting bagi kehidupan. Akibat banyaknya lahan yang
beralih
fungsi yang tadinya merupakan kawasan resapan menjadi kawasan pertanian dan
pemukiman
akan menyebabkan terganggunya daur air kawasan. Tidak kalah
memprihatinkan
sangat maraknya penjarahan hutan yang mengakibatkan banyaknya
penebangan
hutan yang tidak terencana mengakibatkan peran hutan sebagai pengendali
daur
air kawasan menjadi terganggu. Air dipandang sebagai sumberdaya memiliki
multidimensi
yaitu ketersediaan dalam waktu (musim kemarau atau musim hujan), dalam
ruang
(digunung sampai di pantai), dalam kualitas dan kuantitas baku mutu yang sesuai
kebutuhan
atau peruntukannya (Tedjoyuwono N, 1994 dan Soedjarwadi, 1994). Secara
alami
daur air di suatu kawasan ditentukan oleh ciri-ciri khas lingkungan geofisik.
Ditinjau
dari sudut peradaban manusia, daur air dapat dipengaruhi pula oleh kondisi
sosial
ekonomi dan tehnologi yang dikuasai oleh manusia. Dalam abad 21 ke depan
semakin
dirasakan akan adanya keterbatasan alam dalam menyediakan air bagi
kehidupan.
Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak menjamin
melimpahnya
ketersediaan air kawasan pada dimensi ruang dan dimensi waktu. Variasi
iklim
serta kerentanan sistem sumberdaya air terhadap perubahan iklim akan
memperparah
status krisis air yaitu dengan meningkatnya frekuensi banjir dan
panjangnya
kekeringan, sehingga ketersediaan air semakin tidak dapat mengimbangi
peningkatan
kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Dalam Seminar Sehari
Kebutuhan
Air Bersih dan Hak Azazi Manusia di Bogor pada tanggal 25 Februari 1999
dinyatakan
bahwa ketersediaan air bersih sebesar 50 l/hari/kapita sebagai hak azasi
manusia
perlu disebarluaskan sehingga adalah wajar keberpihakan kepada seluruh
penduduk
agar memperoleh hak air bersih bagi kehidupannya secara langsung minimal
10
50
l/hari/kapita. Angka ini sesungguhnya masih rendah apabila dibanding dengan
sasaran
penyediaan
kebutuhan air ibu kota provinsi di Indonesia sebesar 130 l/hari/kapita, dan di
DKI
220 l/hari/kapita. Berbagai negara Eropa dan Amerika Utara angka itu telah
berkisar
antara
300 – 600 l/hari/kapita dan dalam waktu tidak lama akan naik menjadi 500 – 1000
l/hari/kapita.
(Hehanusa PE, 1999), sedang secara tidak langsung sesungguhnya manusia
membutuhkan
air jauh lebih besar yaitu 2600 l/hari/kapita karena untuk menghasilkan 1
kg
beras diperlukan 4160 l air, 1 kg gula diperlukan 1040 l air dan 1 kg daging
dibutuhkan
20.860 l air (FAO, 1996 dalam Hidayat Pawitaan, 1999). Di samping itu
dengan
dipacunya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan sumberdaya air baik kuantitas
maupun
kualitasnya semakin meningkat pula dan di tempat-tempat tertentu melebihi
ketersediaannya.
Hal ini menyebabkan sumberdaya air dapat menjadi barang yang
langka.
Kerisauan ini lebih ditegaskan oleh pakar dunia dalam rangkaian pertemuannya
mulai
dari pertemuan di Roma, Stockholm, Dublin, Rio de Janeiro dan terakhir di Paris
pada
bulan Juni 1998 dalam “International
Coonference on World Water in the 21 th
Century” disimpulkan bahwa
ancaman akan adanya krisis air di awal abad 21 bukanlah
suatu
khayalan (Hehanusa PE, 1999). Ironisnya kelangkaan sumberdaya air tersebut
tidak
dicerminkan
oleh penghargaan orang atas sumberdaya air tersebut. Dari fakta yang ada
tampak
bahwa sumberdaya air masih belum mendapat perlindungan secara maksimal
untuk
mempertahankan neraca air kawasan yang optimal. Terjadinya pencemaran
dibanyak
tempat dan terjadinya penggundulan hutan di sana-sini menunjukkan bahwa
perhatian
terhadap kelestarian sumberdaya air perlu secara total ditingkatkan (KMNLH,
1997).
Saat ini masih nampak lemahnya posisi tawar-menawar kawasan hutan terhadap
perubahan
fungsi lain yang lebih menguntungkan selain sebagai produsen kayu. Hal ini
dapat
ditelusuri sebagai akibat dari lemahnya sistem akunting sumberdaya hutan (Dodi
Supriadi,
1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai asset pada
dasarnya
merupakan faktor produksi yang mengalami penurunan akibat kegiatan
eksploitasi.
Dari sisi akunting penurunan asset atau faktor produksi seharusnya menjadi
beban
biaya (depresiasi) yang dimasukkan sebagai salah satu komponen cost analisis
dalam
pengelolaan sumberdaya hutan, namun sampai saat ini depresiasi sumberdaya
hutan
sebagai faktor produksi tidak pernah diperhitungkan, sehingga keuntungan yang
diperoleh
selama ini merupakan keuntungan semu. Lebih menarik lagi setelah
11
mencermati
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dodi Supriadi (1998) disimpulkan
bahwa
nilai intangible hutan lindung yang utamanya sebagai penyedia air mempunyai
nilai
ekonomi enam kali lebih besar dari nilai kayu, bahkan total nilai manfaat
intangible
hutan
(plus rekreasi, wildlife dan kualitas lingkungan) akan semakin lebih besar
lagi.
Saat
ini banyak peneliti telah melakukan berbagai penelitian untuk
menghubungkan
perlakuan-perlakuan hutan terhadap perilaku hidrologi. Hal yang sudah
diterima
secara umum adalah bahwa penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat
memperbaiki
fluktuasi aliran air (Seyhan, 1990). Menghadapi berbagai kenyataan di
atas
maka perhatian orang mulai memandang hutan sebagai suatu sistem penyangga
kehidupan
dan tidak hanya sebagai produsen kayu. Hutan dengan penyebarannya yang
luas,
dengan struktur dan komposisinya yang beragam mampu menyediakan manfaat
yang
amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa perlindungan terhadap
banjir,
erosi,
sedimentasi dan longsor lahan.
Peran
hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan
air
intersepsi. Di hutan klimaks intersepsi bisa mencapai angka 25 – 35 % dari
hujan
tahunan
yang jatuh dan di hutan Pinus bisa mencapai 16-20 % dari hujan tahunan yang
jatuh
(Sri Astuti et-al, 1998).
Peran
menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab
kekawatiran
masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang diduga
berperanan
terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu,
kelembaban
udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering
disebut
kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasi.
Evapotranspirasi
berlangsung ketika vegetasi tidak kekurangan suplai air, atau berada
diantara
titik layu permanen dan kapasitas lapang. Vegetasi memerlukan air untuk
pengangkutan
unsur hara dari dalam tanah untuk metabolisme tumbuhan bagi
kehidupannya.
Melalui daun, air yang berasal dari tanah diuapkan sebagai bagian dari
proses
fisiologis tanaman yang disebut transpirasi. Dalam hal ini transpirasi atau
karena
susahnya
dipisahkan dengan evaporasi maka sering disatukan menjadi evapotranspirasi.
Evapotranspirasi
punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah
terutama
untuk kawasan yang berhujan rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka
evapotranspirasi
yang terjadi dari suatu kawasan, sudah mulai banyak mendapat
12
perhatian
dari para peneliti terutama untuk kawasan dengan vegetasi tertentu. Akhir-akhir
ini
yang paling banyak mendapat perhatian adalah kawasan hutan Pinus. Untuk
menjawab
kekawatiran tersebut Perum Perhutani telah bekerja sama dengan UGM, IPB
dan
Unibraw dalam penelitian tentang neraca air kawasan hutan Pinus.
Selama
5 tahun penelitian yang dilakukan oleh UGM (Sri Astuti et-al, 1998)
didapat
informasi bahwa evapotranspirasi yang terjadi di hutan Pinus dalam kisaran
sebesar
1002 - 1253 mm/th atau 29 - 69 % dari hujan tahunan yang jatuh. Angka tersebut
memunculkan
suatu keputusan untuk merekomendasikan bahwa Pinus dapat
dikembangkan
pada suatu daerah yang mempunyai tebal hujan ³ 2000 mm/th. Oleh tim
peneliti
dari PPLH Unibraw (Utomo et-al, 1998) dikemukakan bahwa Pinus disarankan
tidak
ditanam di daerah yang curah hujannya < 1500 mm/th, sedang oleh tim peneliti
dari
Fak.
Kehutanan IPB (Manan et -al 1998) Pinus disarankan ditanam di daerah dengan
curah
hujan ³ 2000 mm/th, supaya tidak mempengaruhi tata
air kawasan.
Peran
ketiga adalah mampu mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah
mempunyai
kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki ronggarongga
yang
dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah
yang
tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis,
gravitasi
atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air
tanahnya
pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana
tanaman
dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik
layu
ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat
kelembaban
titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah.
Jumlah
air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk
menentukan
nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan.
Peran
ke empat adalah dalam pengendalian aliran air. Kebanyakan persoalan
distribusi
sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhirakhir
ini
kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim
hujan
dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa
hutan
mampu mengendalikan daur air artinya hutan dapat menyimpan air selama musim
hujan
dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih
melekatnya
dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam
13
kawasan
hutan yang tetap mengalir pada musim kemarau. Untuk lebih meningkatkan
peran
hutan dalam pengendalian aliran air, bagi hutan yang berada dalam ekosistem
tertentu
perlu diberikan perlakuan dibangunnya creek fed ponds atau embung-embung
dan
bangunan konservasi lainnya.
Disamping
masalah pengendalian daur air, masalah pengendalian longsor lahan
juga
merupakan masalah yang memerlukan pemecahan segera. Untuk ikut memecahkan
permasalahan
tersebut perlu dikenali faktor-faktor penyebabnya. Rangkuman dari
beberapa
pustaka (Febri Himawan, 1994; Justika Baharsyah dkk, 2000; Karnawati D,
2001)
dan pengenalan di lapangan dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang
menyebabkan
suatu kawasan longsor lahan antara lain :
1.
Faktor internal
a.
Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam)
b.
Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan)
· Jenis batuan/tanah
-
Tanah tebal dengan tingkat pelapukan sudah lanjut
-
Kembang kerut tanah tinggi : lempung
· Sedimen berlapis (tanah permeabel menumpang pada tanah
impermeabel)
· Perlapisan tanah/batuan searah dengan kemiringan lereng.
c.
Tektonik dan Kegempaan
· Sering mengalami gangguan gempa
· Mekanisme tektonik penurunan lahan
2.
Faktor luar (eksternal)
a.
Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng
· Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif
menyebabkan
terjadinya
penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam.
Makin
curam suatu kemiringan lereng, makin kecil nilai kestabilannya.
· Patahan yang mengarah keluar lereng
b.
Hujan
· Akibat hujan terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya
menurunkan
ketahanan
batuan.
· Kadar air tanah yang tinggi juga menambah beban mekanik tanah.
14
· Sesuai dengan letak dan bentuk bidang gelincir, hujan yang tinggi
menyebabkan
terbentuknya bahan gelincir.
c.
Kegiatan Manusia
· Mengganggu kestabilan lereng misal dengan memotong lereng.
· Melakukan pembangunan tidak mengindahkan tata ruang wilayah/tata
ruang
desa.
· Mengganggu vegetasi penutup lahan sehingga aliran permukaan
melimpah
misal
dengan over cutting, penjarahan atau penebangan tak terkendali, hal ini
akan
menyebabkan erosi mundur maupun erosi lateral.
· Menambah beban mekanik dari luar misal penghijauan atau hasil
reboisasi
yang
sudah terlalu rapat dan pohonnya sudah besar-besar di kawasan rawan
longsor
lahan dan tidak dipanen karena merasa sayang. Untuk ini maka
sangat
diperlukan pengaturan hasil yang baik bagi hutan rakyat, program
penghijauan
yang lain maupun program reboisasi baik yang berupa
pemanenan
maupun penjarangan yang teratur.
Untuk
dapat memberikan perhatian atau perlakuan khusus pada kawasan rawan
longsor
lahan tersebut perlu dilakukan zonasi kawasan dengan memperhatikan
karakteristik
kawasan rawan longsor lahan. Karakteristik kawasan rawan longsor antara
lain
:
a.
Kawasan yang mempunyai kelerengan ³ 20 %
b.
Tanah pelapukan tebal
c.
Sedimen berlapis : Lapisan permeabel menumpang pada lapisan impermeabel
d.
Tingkat kebasahan tinggi (curah hujan tinggi)
e.
Erosi lateral intensif sehingga menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian
kaki
lereng,
akibatnya lereng makin curam.
f.
Mekanisme tektonik penurunan lahan
g.
Patahan yang mengarah keluar lereng
h.
Dip Perlapisan sama dengan Dip Lereng
i.
Makin curam lereng, makin ringan nilai kestabilannya.
_
15
Aneka
rekayasa dapat dilakukan untuk usaha pengendalian longsor lahan salah
satunya
adalah rekayasa vegetatif dalam tindakan konservasi lahan.
Pemecahan Masalah Kesejahteraan Rakyat Pengendalian Daur Air, Erosi
dan
Longsor Lahan Melalui Pengelolaan Lahan
Dalam
rangka merancang pengelolaan lahan yang diarahkan untuk memecahkan
masalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengendalikan daur air,
mengendalikan
erosi dan mengendalikan longsor lahan dapat dirancang melalui beberapa
pendekatan
yang berupa rekayasa vegetatif yang dipadukan dengan rekayasa tehnik dan
didampingi
dengan rekayasa sosial.
a. Lahan Rakyat
Di
dalam pengelolaan lahan aspek kelestarian dalam jangka panjang sangat
penting.
Dalam hal ini kelestarian dapat diartikan sebagai (Anonimus, 2000) :
1.
Kecenderungan produktivitas pertanaman tidak menurun atau positif pada
rotasi
berikutnya seraya menjaga serta meningkatkan kualitas basis
sumberdaya
lahan.
2.
Praktek-praktek managemen pertanaman tidak berpengaruh buruk pada
lingkungan.
3.
Pertanaman secara ekonomis layak dan berkontribusi terhadap
kesejahteraan
masyarakat.
Seperti
telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa pola penggunaan lahan pada
umumnya
adalah sawah, tegal, hutan, pekarangan, kebun, dan penggunaan lainnya.
Khusus
untuk penggunaan lahan sawah bagi masyarakat petani di Indonesia masalah
utamanya
adalah masalah managemennya bukan pada masalah pengelolaan lahannya,
misal
masalah penggunaan air, pemilihan bibit unggul, adanya kecenderungan
peningkatan
penggunaan pestisida yang justru akan mengganggu siklus kehidupan dan
penurunan
produktivitas untuk sawah maka tidak diuraikan lebih lanjut di uraian ini.
Dalam
realitas penggunaan lahan pedesaan yang berupa tegal, pekarangan, kebun
dan
hutan rakyat, petani dapat mengelola sektor pertanian, kehutanan dan peternakan
secara
terpadu dalam proporsi yang berbeda sesuai dengan kondisi fisiknya. Dengan
16
rekayasa
vegetatif melalui pengetrapan pola agroforestry petani tidak terlalu penting
membedakan
pertanian dan kehutanan atau peternakan. Konsern petani adalah bahwa
petani
perlu menanam jenis tanaman pertanian, pohon maupun pakan ternak untuk
berbagai
kebutuhan. Masing - masing komoditas memiliki peran sendiri - sendiri dalam
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat misal tanaman pangan untuk memenuhi
kebutuhan
jangka pendek, buah, dll., untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah,
sedang
kayu untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang misal kebutuhan biaya sekolah,
biaya
punya hajatan atau biaya kesehatan, dll. Dengan demikian pemilihan jenis
tanaman
sangat
ditentukan oleh kebutuhan masyarakat setempat misal tanaman pangan berupa
jagung,
ketela, empon-empon dan pakan ternak sebagai tanaman etase pertama; tanaman
buah
misal mangga, sirsat, melinjo, kopi, petai,dll sebagai tanaman etase kedua;
sengon,
akasia,
jati, mahoni, dll sebagai tanaman etase ketiga dan kelapa dipilih sebagai
tanaman
etase
keempat.
Pola
agroforestry biasanya dipilih masyarakat untuk mengelola lahannya apabila
memiliki
tenaga kerja yang cukup dan untuk lahan yang dekat jaraknya dari rumah,
sedang
apabila tenaga kerja kurang cukup dan utamanya yang jauh dari rumah
masyarakat
dapat memilih menghutankan lahan miliknya dengan jenis tanaman kayukayuan
tetapi
tidak disarankan monokultur dan seumur.
Disamping
rekayasa vegetatif, berbagai macam rekayasa tehnik utamanya yang
sederhana
perlu di bangun di lahan-lahan tersebut misal teras guludan, teras individu,
teras
bangku, embung, creeck fed ponds, rorak, saluran-saluran dan terjunan
disesuaikan
dengan
kemampuan dan kebutuhan.
Untuk
mewujudkan pengelolaan lahan yang memenuhi prinsip kelestarian
beberapa
rekayasa sosial juga diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain :
1.
Hutan rakyat dikelola oleh kelompok tani yang dipimpin oleh seorang
ketua
kelompok.
_ _ Anggota kelompok patuh pada pranata-pranata sosial yang dibuat
oleh
kelompok
misal: _
a.
Untuk dapat menebang pohon harus seijin kelompok.
_ _ Pohon yang boleh ditebang adalah yang sudah masuk umur daur yang
disepakati
kelompok._
17
_ _ Penebangan harus dengan sistem tebang pilih._
_ _ Bagi yang akan menebang harus sudah menyiapkan bibit baru._
_ _ Selesai menebang harus menanami kembali._
__ Bagi yang menebang bersedia menyerahkan dana ke kelompok yang
nantinya
untuk studi banding atau perbaikan lingkungan. _
_
b. Lahan Hutan Negara
Lahan
hutan negara di DAS Solo dapat dikatakan seluruhnya berada dalam
pengelolaan
PT. Perhutani. Akhir-akhir ini muncul gangguan berupa pencurian dan
penjarahan
kayu dalam skala kecil sampai skala besar. Penyebab tejadinya lahan kosong
atau
lahan tidak produktif lainnya antara lain karena tanaman gagal yang disebabkan
adanya
penggembalaan, kebakaran atau karena tidak sesuainya jenis tanaman, juga dapat
disebabkan
karena bencana alam kekeringan, erosi dan longsor lahan. Areal bekas
penjarahan
dan areal tidak produktif lainnya tersebut perlu direboisasi dan direhabilitasi
dengan
pola yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama pengalaman
dan
arah perkembangan pengelolaan dimasa mendatang dan sesuai dengan prinsip
kelestarian
yang terdiri dari :
1.
Kelestarian Produksi.
_ _ Kelestarian Usaha. _
_ Kelestarian
Sosial._
Untuk
mencapai tujuan tersebut sudah barang tentu bukan suatu hal yang sangat
mudah,
terutama karena semakin banyaknya permintaan masyarakat akan fungsi hutan
yaitu
fungsi produksi, sosial, ekonomi, lingkungan, meningkatkan PAD, penghasil
tanaman
pangan / pertanian dan perkebunan.
Untuk
itu maka dasar penetapan pola reboisasi dan rehabilitasi hutan yaitu
(Anonimus,
2000) :
1.
Kelas perusahaan hutan.
_ _ Permintaan industri_
a.
Skala industri
_ _ Lokasi industri_
3.
Jenis tanah.
18
_ Tekanan
sosial ekonomi masyarakat._
_ _ Aksesibilitas (jalan hutan menuju lokasi bagian hutan, sedang
strategi
yang
diusulkan :_
a.
Masih dipertimbangkan kelas perusahaan yang ada dengan tidak
menutup
kemungkinan adanya peluang pengembangan kelas hutan
jenis
lain.
_ _ Dalam pelaksanaan dapat dikaitkan dengan pengembangan semacam
buffer
zone melalui model kemitraan dengan masyarakat, penetapan
jenis
tanaman, penurunan daur secara khusus._
_ _ Pengembangan desentralisasi dan otonomi pada aspek manajerial atau
operasional
kepada KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan)._
_ _ Perluasan kerjasama dengan masyarakat dengan model kemitraan
yang
diperluas pada kegiatan pengelolaan lainnya bahkan pada bagi
hasil
produksi._
_ _ Adanya alternatif daur jati diperpendek dan mengembangkan jenis
kayu
lain untuk perkakas dengan daur ± 10 - 15 tahun. _
_
Berbagai
pola yang diusulkan untuk mereboisasi dan merehabilitasi lahan hutan
sesuai
dengan dasar penutupannya serta strategi yang dibuat antara lain (Anonimus,
2000)
:
Pola I
1.
Pola I diperuntukkan bagi kelas perusahaan jati.
_ _ Permintaan bahan baku jati pesat._
_ Tanah tidak
begitu baik bagi tanaman pertanian._
_ Tekanan
penduduk berat._
_ _ Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan sangat baik, maka perlakuan
yang
diberikan
berupa :_
a.
Dibentuk kelas hutan dengan tujuan istimewa semacam buffer zone dengan
bentuk
pengelolaan bersama masyarakat mulai dari penanaman (pola
agroforestry),
pemeliharaan, perlindungan, dan pemanenan.
_ _ Dapat dilakukan penurunan daur jati menjadi 30 - 40 tahun._
19
c. Dapat
dipertimbangkan peningkatan uang kontrak untuk membantu
kesejahteraan
masyarakat.
d.
Dapat dilakukan perubahan jenis tanaman pokok kehutanan.
Pola II
Pola
II diberlakukan bagi :
1.
Bagian hutan dengan kelas perusahaan Jati
2.
Permintaan bahan baku industri baik
3.
Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan untuk tanaman pertanian.
4.
Tekanan sosial ekonomi masyarakat cukup
5.
Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan baik, dapat diberikan perlakuan :
a.
Intensifikasi tumpang sari
b.
Kontrak kerja sama dalam berbagai jenis kegiatan pengelolaan hutan
(fresh
money).
Pola III
Pola
III dapat diberlakukan bagi :
1.
Bagian hutan dengan kelas perusahaan Jati
2.
Permintaan bahan baku industri sedang
3.
Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan untuk tanaman pertanian.
4.
Tekanan sosial ekonomi penduduk sedang
5.
Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan tidak baik, dapat diselesaikan dengan
managemen
rutin PT. Perhutani (tumpangsari ± 2 th).
Pola IV
Pola
IV dapat diberlakukan bagi :
1.
Bagian hutan dengan kelas perusakan kayu rimba (non Pinus).
2.
Permintaan bahan baku kayu industri baik.
3.
Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan tanah untuk tanaman pertanian.
4.
Tekanan sosial ekonomi masyarakat berat.
5.
Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan baik dapat diselesaikan dengan :
20
a.
Ada kelas hutan dengan tujuan istimewa semacam buffer zone dengan
bentuk
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) mulai dari
penanaman,
pemeliharaan, perlindungan hutan dan pemanenan.
b.
Kontrak kerjasama dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan.
Pola V
Pola
V diberlakukan bagi kelas perusahaan hutan non kayu (kayu putih). Pola
ini
program reboisasinya dapat diselesaikan dengan tumpangsari.
Pola VI
Pola
VI diberlakukan bagi kelas perusahaan Pinus dan dalam Pola VI dapat
diselesaikan
dengan :
1.
Program Banjar Harian
2.
Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)
3.
Kontrak kerjasama dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan (fresh
money).
4.
Produksi getah.
c. Pengendalian Longsor Lahan
Rekayasa
vegetatif dan rekayasa tehnik dalam rangka usaha pencegahan atau
mengurangi
longsor lahan baik di lahan rakyat maupun di lahan hutan negara antara lain
dengan:
a.
Menghindari atau mengurangi penebangan pohon yang tidak terkendali dan tidak
terencana
(over cutting, penebangan cuci mangkuk, dan penjarahan).
b.
Penanaman vegetasi tanaman keras yang ringan dengan perakaran intensif dan
dalam
bagi
kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel.
c.
Mengembangkan usaha tani ramah longsor lahan seperti penanaman hijauan makanan
ternak
(HMT) melalui sistem panen pangkas.
d.
Mengurangi beban mekanik pohon-pohon yang besar-besar yang berakar dangkal dari
kawasan
yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel.
21
GAMBAR
e.
Membuat Saluran Pembuangan Air (SPA) pada daerah yang berhujan tinggi dan
merubahnya
menjadi Saluran Penampungan Air dan Tanah (SPAT) pada hujan yang
rendah.
f.
Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di kawasan yang rawan
longsor
lahan yang tanpa dilengkapi dengan SPA dan saluran drainase di bawah
permukaan
tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah.
g.
Mengurangi intensifikasi pengolahan tanah daerah yang rawan longsor.
h.
Membuat saluran drainase di bawah permukaan (mengurangi kandungan air dalam
tanah).
i.
Bila perlu, di tempat-tempat tertentu bisa dilengkapi bangunan teknik
sipil/bangunan
mekanik.
Beberapa
contoh jenis tanaman yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar
cabang
banyak serta yang berakar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang sebagai
berikut
:
A.
Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak.
1. Aleurites moluccana (kemiri)
2. Vitex pubescens (laban)
3. Homalium tomentosum (dlingsem)
4. Lagerstroemia speciosa (bungur)
22
5. Melia azedarach (mindi)
6. Cassia siamea (johar)
7. Acacia villosa
8. Eucalyptus alba
9. Leucaena glauca
B.
Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang
1. Swietenia macrophylla (mahoni
daun besar)
2. Gluta renghas (renghas)
3. Tectona grandis (jati)
4. Schleichera oleosa (kesambi)
5. Pterocarpus indicus (sono
kembang)
6. Dalbergia sissoides (sono
keling)
7. Dalbergia latifolia
8. Cassia fistula (trengguli)
9. Bauhinia hirsula (tayuman)
10. Tamarindus indicus (asam jawa)
11. Acacia leucophloea (pilang)
23
DAFTAR PUSTAKA
Dodi
Supriadi, 1998. Potensi Peran Akuntansi Sumberdaya Hutan dalam Perumusan
Kebijaksanaan
dan Strategi Manajemen Hutan. Makalah Seminar
Pengelolaan
Hutan dan Produksi Air Untuk Kelangsungan Pembangunan, 23
September
1998. Jakarta.
Fakultas
Kehutanan UGM, 2000. Kesesuaian Lahan Hutan untuk Tanaman Agroindustri
dalam
Rangka Pelaksanaan Agroforestry di Lahan Kehutanan di KPH Telawa
dan
KPH Gundih.
Febri
Himawan, Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng Untuk Mitigasi
Kebencanaan
Longsor, Fakultas Teknik Geologi, UNPAD. Proceding
Seminar
Mitigasi Bencana Alam di UGM 16 – 17 September 1994.
Yogyakarta.
Hehanusa,
P.E. 1999. Ketersediaan Air Dalam Perspektif Abad 21 Kaitannya dengan Hak
Azazi
Manusia. Seminar Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azazi Manusia.
Masyarakat
Hidrologi Indonesia Bersama Himpunan Ahli Teknik Hidraulika
Indonesia.
Di Bogor.
Justika
S. Baharsyah, Irsal Las dan Hidayat Pawitan. Perilaku Prakiraan Anomali Iklim
serta
Dampaknya Terhadap Ketersediaan Air dan Produksi Pertanian.
Makalah
Seminar Usaha Peningkatan Ketahanan Pangan di Jawa Tengah
dalam
Mengantisipasi Dampak Anomali Iklim El Nino Terhadap Pertanian.
Semarang,
15 November 2000.
Karnawati
D.K., 2001. Sistem Peringatan Dini Tanah Longsor Dengan Pemberdayaan
Masyarakat.
Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem Peringatan Dini
Sebagai
Upaya Pencegahan dan Pengurangan Dampak Bencana Alam.
Kerjasama
Antara Pusat Studi Bencana Alam UGM dengan PMI Pusat, 31
Januari
2001, Yogyakarta.
KMNLH
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup), 1997. Agenda 21 Indonesia.
Strategi
Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan (Ringkasan). Kantor
Menteri
Negara Lingkungan Hidup. United Nations Development
Programme.
Manan,
S., Rusdiana, O., Anifjaya, N.M., Wasis, B. dan Purwowidodo. 1999. Pengaruh
Kelas
Perusahaan Hutan Pinus (Pinus Merkusii) terhadap produksi air : Studi
Kasus
di KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Seminar
Pengelolaan
Hutan dan Produksi Air Untuk Kelangsungan Pembangunan.
Perum
Perhutani Bekerjasama dengan Yayasan Institut Manajemen dan
Teknologi
Kehutanan. Jakarta.
24
Seyhan
E, 1977. Fundamentals of Hydrology, Geografisch Institut der Ryksuniversiteit
te
Utrecht
Seyhan,
E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada
University
Press, Yogyakarta.
Sri
Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus.
Makalah
Seminar
Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan,
23 September 1998, Jakarta.
Sri
Astuti Soedjoko, Hatma Suryatmojo. 2002. Pembangunan Kawasan Gunung Kidul
Dengan
Konservasi Lahan Yang Berwawasan Lingkungan. Makalah
Lokakarya
Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal dalam
Mendukung
Pengembangan Ekonomi Kawasan Selatan Jawa, Malang, 22
Oktober
2002.
Sri
Astuti Soedjoko, 2002. Konservasi Tanah dan Air di Hutan Produksi Berbasis Unit
Daerah
Aliran Sungai. Makalah Workshop Konservasi Sumberdaya Hutan
Yogyakarta,
9 – 11 Agustus 2002
Sri
Astuti Soedjoko, 2002. Rekayasa Vegetatif Dalam Pengendalian Longsor Lahan.
Utomo,
WH, Titiek I dan Widianto, 1998. Pengaruh Tanaman Terhadap Hasil Air.
Makalah
Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan. 23
September 1998, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar