Ekonomi Pembangunan di Indonesia


Makalah
Ekonomi Pembangunan
Pembangunan Daerah,Utang Luar Negeri,dan Pembiayaan Pembangunan
di Indonesia
D
I
S
U
S
U
N
Oleh

1.Sahat  Silverius Sijabat
2.Genesis  Sembiring
3.Gusti Artnifora


A REGULER
PENDIDIKAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TAHUN 2013


Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas kuasa dan kehadirat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dari bapak  dosen pengampu matakuliah Ekonomi  Pembangunan Bapak  DR.Eko Nugraha,M.Si ,dengan judul Pembangunan Daerah,Utang Luar Negeri,dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia  dengan tepat waktu dan ditujukan bagi pemenuhan tugas kuliah disemester ini dan juga untuk menambah wawasan kita tentang materi tersebut.
Adapun kami menyadari bahwa pada makalah kami ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, besar harapan kami sebagai penulis kepada pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran dalam penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Terima kasih


Medan, Maret 2013


penulis






 Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................................
Bab 1.  Pendahuluan............................................................................................................
            1.1.Latar Belakang..................................................................................................
            1.2. Tujuan..............................................................................................................
            1.3.Tinjauan Pustaka..............................................................................................
Bab 2.  Pembahasan..............................................................................................................
            2.1.Pembangunan Daerah.........................................................................................
            2.2.Utang Luar Negeri..............................................................................................
            2.3.Pembiayaan Pembangunan di Indonesia...........................................................
Bab 3.  Penutup...................................................................................................................
            3.1.Kesimpulan Materi............................................................................................
            3.2. Saran-Saran......................................................................................................
Daftar Pustaka.....................................................................................................................











Bab 1
Pendahuluan

1.1.Latar Belakang
Pengalaman menunjukkan bahwa diberbagai negara bahwa ada salah satu syarat yang diperlukan untuk menunjukkan tingginya tingkat keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah yaitu dimulai dari mantapnya pemahaman dari para aparat terkait tentang makna indikator-indikator dan variable-variabel pembangunan serta pengertian kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, dimana kedua kebijaksanaan tersebut harus saling melengkapi ataukan searah. Pemahaman yang memadai tentang indikator pembangunan daerah ini akan mengakibatkan semakin terarahnya pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan dan semakin tingginya responsi masyarakat dalam menyukseskan dan mencapai sasaran yang telah ditargetkan.Hal ini saya anggap perlu mendapatkan perhatian terutama dari pihak-pihak pengambilan keputusan, mengingat proses panjang perjalanan bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan harus mendapatkan perhatian dari kita semua. Persentase keberadaan Bangsa Indonesia belum beranjak dari starting point pada masa kita memproklamirkan kemerdekaan.
1.2.Tujuan
Makalah ini Bertujuan untuk menguraikan sekelumit indikator-indikator dan variable-variabel serta kebijaksanaan ekonomi makro dibarengi dengan sekelumit uraian pendukung dalam Pembagunan Daerah, termasuk contoh-contoh yang bisa dapat lebih mempermudah untuk memahaminya beberapa indikator tersebut. Meskipun demikian, para pembentuk definisi juga masih sering mempunyai perbedaan pandangan tertentu dalam mengemukakan definisinya terutama untuk hal-hal yang sangat abstrak.
Pengertian pembangunan daerah harus ddilihat secara dinamis, bukan dilihat sebagai konsep statis yang selama ini sering kita anggap sebagai suatu kesalahan yang wajar. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. ” Development is not a static concept. It is continuously changing“.Artinya juga bisa dikatakan bahwa pembangunan itu sebagai “never ending goal”.
Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan supaya menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya. Jadi bukan hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah belaka. Pembangunan tergantung dari suatu innerwill, proses emansipasi diri. Dan suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan hanya menjadi mungkin karena proses pendewasaan.
Indonesia, sebagai kelompok negara berkembang pada umumnya melakukan dan sedang di dalam proses perubahan-perubahan sosial yang besar. Proses atau usaha usaha perubahan sosial tersebut dapat berarti suatu proses dan usaha pembangunan. Pada pokoknya suatu usaha perubahan dan pembangunan dari suatu keadaan atau kondisi kemasyarakatan yang dianggap lebih baik dan lebih diinginkan. Artinya ada perubahan dari yang ada sekarang dengan segala kekurangannya menjadi lebih baik, minimal ada “progress” dari kondisi yang sekarang ini..
Perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bersifat menyeluruh tersebut, dapat dikembangkan secara sadar oleh pemerintah, yang sebaiknya pula mewakili kekuatan-kekuatan pembaharuan di dalam masyarakat. Hal ini sudah pasti sudah sesuai dengan paradigma yang diinginkan yaitu paradigma pembangunan yang partisipatif yang lebih mengarah kepada aspirasi dari akar rumput. Akan tetapi pada akhirnya supaya perubahan-perubahan itu mempunyai kemampuan berkembang yang dinamis, perlulah diperhatikan agar proses tersebut didukung dan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pembaharuan dan pembangunan yang timbul dan bergerak di dalam masyarakat bangsa itu sendiri. Hal ini sangat penting, jangan sampai proyek pembangunan jalan di lokasi terpencil hanya pernah dilalui oleh mobil, yang bertugas mengantarkan material ke daerah tersebut, tanpa menjadi sarana transportasi yang memudahkan masyarakat menyalurkan hasil produksinya ke pasar..
Harus diakui bahwa secara umum, di negara-negara berkembang, kekuatan-kekuatan pembaharuan dalam masyarakat relatif masih lemah. Kekuatan-kekuatan pembaharuan dalam masyarakat ini disebut “autonomous energies“. Demikianpula usaha untuk menyalurkan dan mengarahkan berbagai kepentingan dan tuntutan yang sering bertentangan didalam masyarakat dalam rangka kepentingan nasional dan kepentingan pembangunan yang menyeluruh. Pembangunan itu sendiri, seperti telah dikemukakan sebelumnya, meliputi perubahan-perubahan sosial yang besar. Hal tersebut seringkali mengakibatkan adanya frustasi, alienasi, kegoncangan dalam identitas, dan lain-lain bagi sebagian masyarakat.
1.3.Tinjauan Pustaka
Makalah ini bertujuan menggunakan metode sumber dimana sumber yang di dapat di makalah ini adalah dari buku buku penunjang dan internet dari situs situs yang dapat di percaa akan keakuratan dan eksistensinya.






Bab 2
Pembahasan
2.1. Pembangunan Daerah
Setiap orang bisa saja mengartikan istilah pembangunan secara berbeda sesuai dengan seleranya sendiri, sehingga pada akhirnya definisi tentang pembangunan pun sedemikian banyak dan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, kita perlu memastikan terlebih dahulu perspektif inti atas makna dasar pembangunan. Tanpa adanya suatu perspektif dan criteria yang dapat disepakati bersama, kita tidak akan bisa mengetahui negara mana saja yang telah mengalami pembangunan secara pesat dan negara mana yang tidak.Hal ini dimaksudkan agar terdapat satu persepsi yang sama terhadap sesuatu..yang kalau dalam bahasa penelitian ilmiah harus valid dan reliabel..
Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur social, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan  terjadinya perubahan secara total suatu masyarakat atau penyesuaian system social secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok social yang ada didalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, baik secara material maupun spiritual.
Pada umumnya pembangunan nasional banyak Negara-negara sedang berkembang dipusatkan pada pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, paradigma tradisional mengenai pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Dewasa ini, definisi pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah: suatu proses peningkatan output dalam Jangka Panjang. Yang dimaksud dengan proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuatan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam: pertama, perubahan struktur ekonomi; dari pertanian ke industri atau jasa. Kedua, perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri. Artinya pembangunan yang dilaksanakan tidak dilakukan hanya “secepat membalik telapak tangan”, akan tetapi dimulai dari proses yang panjang dan lama, seperti yang kita laksanakan baik melalui RKP (1 tahun), RPJM (5 tahun), dan RKP (25 tahun)..
Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita (GNP riil dibagi dengan jumlah penduduk) dan tidak hanya kenaikan pendapatan nasional riil menyiratkan bahwa perhatian pembangunan bagi negara miskin adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Pendapatan nasional riil (GNP pada tingkat harga konstan) yang meningkat seringkali tidak diikuti dengan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Bila pertumbuhan penduduk melebihi atau sama dengan pertumbuhan pendapatan nasional maka pendapatan per kapita bisa menurun atau tidak mengalami perubahan, dan ini jelas tidak dapat disebut bahwa ada pembangunan ekonomi di negara tersebut.
Kurun waktu yang panjang menyiratkan bahwa kenaikan pendapatan per kapita perlu berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. Tahapan-tahapan pembangunan, (sebelumnya dikenal dengan istilah Pelita) baru merupakan awal dari proses pembangunan. Tugas yang paling berat adalah menjaga sustainabilitas pembangunan dalam jangka yang lebih panjang.
Yang pasti sudah saatnya Bangsa Indonesia bangkit bersama untuk meraih cita-cita bersama, minimal se level dengan negara tetangga kita seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, bahkan kalau perlu Australia..Tanpa ada komitmen yang jelas dan indikator yang terukur kita akan sulit untuk mensejajarkan diri dengan negara tersebut..
Ekonomi pembangunan selain mengulas soal alokasi sumberdaya yang seefisien mungkin dan pertumbuhan output agregat secara berkesinambungan dari waktu ke waktu, ekonomi pembangunan menitik beratkan pula perhatiannya pada berbagai mekanisme ekonomis, social, dan institusional yang harus diciptakan demi meningkatnya standar hidup penduduk miskin di negara-negara sedang berkembang. Untuk itu, ekonomi pembangunan juga memberikan perhatian besar kepada formulasi kebijakan-kebijakan public yang sebaik-baiknya demi menghadirkan serangkaian transformasi ekonomi, social, dan institusional yang sekiranya dapat berdampak positif terhadap kondisi masyarakat secara keseluruhan dalam waktu yang singkat.
Oleh karena itu, setiap analisis realistis terhadap masalah-masalah pembangunan perlu ditopang dengan variable-variabel, baik itu variable ekonomi maupun non ekonomi sebagai indicator atau tolok ukur keberhasilan. Indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat dikalsifikasikan menjadi: 1) Indikator Ekonomi, dan 2) indicator Sosial.
Sehingga dapat di simpulkan juga bahwa pembangunan daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan berdasarkan pengertian daerah modal. Dengan data yang sangat terbatas sangat sukar untuk menggunakan metode yang telah dikembangkan dalam membenikan gambaran mengenai perekonomian suatu daerah.
Data yang tersedia umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional.

Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan, sebab perekonomian daerah lebih terbuka dibandingkan dengan perekonomian nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliran-aliran yang masuk dan kaeluar dan suatu daerah sukar diperoleh.


Bagi NSB disamping kekurangan data sebagai kenyataan yang umum. Data yang ada terbatas itupun banyak yang sulit untuk dipercaya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk melakukan analisis yang memadai tentang keadaan perekonomian suatu daerah Paradigma Baru Teori pembangunan  Daerah
Pada dekade 1960-an dan 1970-an studi pembangunan ekonomi masih didominasi oleh dependencia theory. Pemikiran ini dilandasi oleh kondisi ekonomi dan sosial negara-negara yang masih terbelakang (underdeveloped countries) yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yaitu negara-negara imperalis. Penetrasi MNCs terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang. Pada beberapa kasus kebijakan tersebut menyebabkan nasionalisasi modal asing indenpendency berkembang sebagai respon terhadap kelemahan di dalam dependencia theory. Kemajuan perekonomian di Negara berkembang akan lebih baik melalui industrialisasi yang juga menciptakan keputusan bersama bagi perekonomian global. Pada intinya, pergeseran yang terjadi adalah peranan pemerintah semakin berkurang dalam perekonomian dan selanjutnya perekonomian dikembalikan mekanisme pasar. Peranan swasta melalui MNC’s lebih penting dalam menjalankan roda perekonomian meskipun campur tangan pemerintah masih diperlukan dalam beberapa hal. Kerjasama antara pemerintah dan swasta menjadi lebih baik sebab pada dasarnya investasi asing langsung tidak hanya menghasilkan modal, tetapi juga teknologi. Pergeseran paradigma pembangunan disebabkan pula oleh demonstration effect dari keberhasilan strategi pembangunan negara industri baru Asia (NICs). Peningkatan investasi asing langsung oleh NICs meningkat pada dua dekade terakhir, khususnya pada strategi industri yang berorientasi ekspor.

Mengumpulkan pendapat-pendapat, saran-saran dari kelompo social dan masyarakat, termasuk perguruan tinggi mengenai rencana atau konsep rencana nasional (REPELITA).
Sebelum menyusun dan merumuskan Repelita, setiap unit operasi baik vertical maupun horizontal didalam setiap propinsi harus membuat rancangan sementara rencana pembangunan, disamping program – program rutin bagi tingkat yang lebih tinggi. Badan perencana dari organisasi tersebut menerima dan mempelajari usulan tersebut. Kemudian rencana tersebut dirumuskan dan disinkronisasikan berbentuk sebagai rencana departemen. Kebijaksanaan dasar propinsi disampaikan kepada BAPPENAS melalui departemen dalam negeri. Setelah perumusan Repelita nasional dilaksanakan yang didasarkan pada rencana-rencana departemen dan kebijaksanaan dasar propinsi.Peran Pemerintah dalam Pembangunan Daerah
Peranan pemerintah daerah sangat penting dalam kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Peranan yang diberikan selain dalam bentuk sarana dan prasarana baik itu yang berupa sarana fisik maupun subsidi langsung, yang juga tidak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah juga harus memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada masyarakat yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mereka dapat merencanakan, membangun, dan mengelola sendiri prasarana dan sarana untuk mendukung upaya percepatan pembangunan di daerah tertinggal serta melaksanakan secara mandiri kegiatan pendukung lainnya. Daerah juga perlu mendorong terjadinya koordinasi dan kerjasama antar wilayah yang melibatkan dua atau lebih wilayah yang berbeda.


Bagaimana Mengukur Pembangunan
Pembangunan selalu menimbulkan dampak, baik positif maupun negative. Oleh karena itu dibutuhkan indicator sebagai tolok ukur terjadinya pembangunan. Berikut ini disajikan beberapa indicator pembangunan, yang secara garis besar dapat di kelompokkan mej adi : 1) indicator ekonomi, dan 2) indicator social.
Variabel yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah:
1. GNP/GDP per Kapita, yaitu GNP/GDP dibagi dengan umlah penduduk. GNP/GDP adalah nilai akhir barang dan jasa yang berhasil diproduksi oleh suatu perekonomian (masyarakat) pada suatu periode waktu tertentu (biasanya satu tahun). Jika GNP/GDP tersebut dibagi dengan jumlah penduduk maka didapatkan GNP/GDP per kapita.
Klasifikasi Negara berdasarkan GNP/GDP atau kelompok pendapatannya dapat saja berubah pada setiap edisi publikasi Bank Dunia. Sebagai contoh, Bank Dunia pada tahun 1995 mengklasifikan Negara berdasarkan tingkatan GNP/GDP per kapita sebagai berikut:
o Negara berpenghasilan rendah, adalah kelompok Negara-negara dengan GNP per kapita kurang atau sama dengan US$ 695.
o Negara berpenghasilan menengah adalah kelompok Negara-negara dengan GNP/GDP per kapita lebih dari US$ 695 namun kurang dari US$ 8.626.
o Negara berpenghasilan tinggi adalah kelompok Negara-negara dengan GNP/GDP per kapita di atas US$ 8.626.
Kelemahan dari indicator ini, tidak memasukkan produksi yang tidak melalui pasar seperti dalam perekonomian subsisten, jasa ibu Rumah Tangga, transaksi barang bekas, kerusakan lingkungan, dan masalah distribusi pendapatan.
2. Growth (pertumbuhan), yaitu perubahan output (GNP/GDP) yang terjadi selama satu kurun waktu tertentu (satu tahun).
Bank Dunia pada tahun 1993 memperkenalkan beberapa sebutan menyangkut pertumbuhan ekonomi Negara-negara di dunia yaitu;
o High Performing Asian Economies (HPAEs), yang diidentifikasi karena memiliki cirri umum yang sama, seperti pertumbuhan ekspor yang cepat. Kelompok HPAEs ini dibagi lagi menurut lamanya catatan sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi, yaitu: Pertama, 4 macan Asia, biasanya diidentikkan dengan Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini tingkat pertumbuhan ekonominya amat cepat dan mulai mendekati rangking Negara berpenghasilan tinggi. Kedua, Newly Industrializing Economies (NIEs), meliputi Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Kelompok Negara-negara ini memilki rata-rata pertumbuhan GDP riil sebesar 5,5 per sen per tahun.
o Asia Timur mencakup semua Negara berpenghasilan rendah dan menengah di kawasan Asia Timur dan Tenggara serta Pasifik.
o Asia Selatan mencakup Bangladesh, Bhutan, India, Myanmar, Nepal, Pakistan, dan Srilangka.
o Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara mencakup Negara-negara berpenghasilan menengah di kawasan Eropa (Bulgaria, Yunani, Hungaria, Polandia, Portugal, Rumania, Turki, dan bekas Yugoslavia) dan semua Negara di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah, serta Afganistan.
o Sub-Sahara Afrika meliputi semua Negara di sebelah selatan gurun Sahara termasuk Afrika Selatan.
o Amerika Latin dan Karibia terdiri atas semua Negara Amerika dan KAribia di sebelah Selatan Amerika Serikat.
3. GDP per Kapita dengan Purchasing Power Parity
Perbandingan antar negara berdasarkan GNP/GDP per kapita seringkali menyesatkan. Hal ini disebabkan adanya pengkonversian penghasilan suatu negara ke dalam satu mata uang yang sama (US dollar) dengan kurs resmi. Kurs nominal ini tidak mencerminkan kemampuan relative daya beli mata uang yang berlainan, sehingga kesalahan sering muncul saat dilakukan perbandingan kinerja antarnegara. Oleh karena itu, Purchasing Power Parity (PPP) dianjurkan sebagai Pemerataan Pendapatan.
4. Perubahan Struktur Ekonomi
Mengukur tingkat kemajuan struktur produksi (Pertanian, manufaktur, dan jasa-jasa). Peranan sector pertanian akan menurun untuk memberi kesempatan bagi tampilnya sector-sektor manufaktur dan jasa, yang secara sengaja senantiasa diupayakan agar terus berkembang. Oleh karena itu, strategi pembangunan biasanya berfokus pada upaya untuk menciptakan industrialisasi secara besar-besaran sehingga kadangkala mengorbankan kepentingan pembangunan sector perrtanian dan daerah pedesaan pada umumnya.
5. Kesempatan Kerja
Rendahnya sifat kewirausahaan penduduk di negara-negara berkembang, memaksa pemerintah di negara-negara tersebut untuk menyiapkan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya. Dengan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diharapkan akan menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi lainnya.
6. Pengangguran
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi di negara-negara berkembang, pada akhirnya menjadi bom waktu sekitar 15 sampai dengan 20 tahun kemudian, pada saat mereka masuk sebagai angkatan kerja. Besarnya angkatan kerja yang tersedia di negara-negara berkembang, tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja buat mereka sehingga menyebabkan angka pengangguran menjadi tinggi. Dengan penciptaan lapangan pekerjaan, baik oleh sector swasta maupun oleh pemerintah, diharapkan angka pengangguran yang relative tinggi dinegara berkembang akan mengalami penurunan.
Adapun beberapa variable yang termasuk dalam indikator sosial adalah:
1. Indeks Mutu Hidup (IMH) merupakan indeks gabungan dari 1) Harapan hidup pada usia 1 tahun, angka kematian, dan tingkat melek huruf. Untuk masing-masing indicator, kinerja ekonomi suatu negara dinyatakan dalam skala 1 hingga 100, dimana 1 merupakan kinerja terjelek, sedangkan 100 adalah kinerja terbaik.
2. Human Development Index (HDI), mencoba merangking semua negara dalam skala 0 (sebagai tingkatan pembangunan manusia yang terendah) hingga 1 (Pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan atas 3 tujuan atau produk pembangunan, yaitu: 1) Tingkat Harapan Hidup, 2) Pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga), dan 3) Penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing negara dan asumsi menurunnya utilitas marginal penghasilan dengan cepat.
Indikator kunci pembangunan social ekonomi lainnya versi United Nations Research Institute on Social Development (UNRISD) yang dikeluarkan pada tahun 1970, terdiri atas 7 indikator ekonomi dan 9 indikator social, masing-masing:
  1. Harapan Hidup
  2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih
  3. konsumsi protein hewani per kapita per hari
  4. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah
  5. Rasio pendidikan luar sekolah
  6. Rata-rata jumlah orang per kamar
  7. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk
  8. Persentase penduduk usia kerja dengan listrik, gas, air dan sebagainya
  9. Produksi pertanian per pekerja pria di sector pertanian
  10. Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian
  11. Konsumsi listrik, kw per kapita
  12. Konsumsi baja, kg per kapita
  13. konsumsi energi, ekuivalen kg batu bara per kapita
  14. Persentase sector manufaktur dalam GDP
  15. Perdagangan laur negeri per kapita
  16. Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja.
Beberapa indikator yang selama ini dipergunakan Indonesia khususnya daerah daerah , antara lain:
Laju Peningkatan Pendapatan
Laju Penurunan Jumlah Kecamatan Miskin
Laju Penurunan ketimpangan penerimaan pendapatan
Laju penurunan kesenjangan harapan hidup
Laju pengurangan angka kematian bayi
Laju pengurangan melek huruf
Laju penurunan pertumbuhan penduduk
2.2.Utang Luar Negeri
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Modal Asing dalam pembnagunan dibagi menjadi 2, yaitu :

• Modal asing yang tidak dibayar kembali
• Modal asing yang harus dibayar kembali

Aliran Modal ke Sektor Pemerintah
• Pinjaman menurut jangka waktu
• Jangka pendek
• Jangka panjang
• Kredit IMF
• Menurut kreditur
• Sumber resmi
• Swasta
Aliran Modal ke Sektor Swasta
• Investasi langsung (PMA)
• Investasi Portfolio
• Pinjaman dari bank komersial (commercial bank lending)
• Kredit ekspor

Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Utang
• Motivasi Negara Donor
• Kepentingan ekonomi dan strategi
• Tanggung jawab moral
• Negara Pengutang
• Saving Investment GAP
• Foreign Exchange GAP
• Trade GAP

Sumber-sumber pembiayaan Indonesia
• Ekspor
• Bantuan Luar Negeri
• Investasi asing atau PMA
• Tabungan domestic

Fungsi Bantuan Luar Negeri Bagi Indonesia
Bantuan Luar negeri telah berfungsi sebagai berikut :
• Injeksi
Injeksi adalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup
deficit APBN dan neraca pembayaran
• Infus
Infus adalah kebutuhan yang tidak dapat dihindari (adiktif) .

Jumlah dan asal utang Indonesia

Utang luar negeri Indonesia lebih didominasi oleh utang swasta. Berdasarkan data di Bank Indonesia, posisi utang luar negeri pada Maret 2006 tercatat US$ 134 miliar, pada Juni 2006 tercatat US$ 129 miliar dan Desember 2006 tercatat US$ 125,25 miliar. Sedangkan untuk utang swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05 miliar pada September 2006 menjadi US$ 51,13 miliar pada Desember 2006.[1]
Negara-negara donor bagi Indonesia adalah:
  1. Jepang merupakan kreditur terbesar dengan USD 15,58 miliar.
  2. Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar USS 9,106 miliar
  3. Bank Dunia (World Bank) sebesar USD 8,103 miliar.
  4. Jerman dengan USD 3,809 miliar, Amerika Serikat USD 3,545 miliar
  5. Singapura dengan  USD 3,11milliar
  6. Pihak lain, baik bilateral maupun multilateral sebesar USD 16,388 miliar.

Pembayaran utang

Utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan, dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 triliun.[2] Jumlah utang negara Indonesia kepada sejumlah negara asing (negara donor)di luar negeri pada posisi finansial 2006, mengalami penurunan sejak 2004 lalu sehingga utang luar negeri Indonesia kini 'tinggal' USD 125.258 juta atau sekitar Rp1250 triliun lebih.[3]
Pada tahun 2006, pemerintah Indonesia melakukan pelunasan utang kepada IMF. Pelunasan sebesar 3,181,742,918 dolar AS merupakan sisa pinjaman yang seharusnya jatuh tempo pada akhir 2010.[4] Ada tiga alasan yang dikemukakan atas pembayaran utang tersebut, adalah meningkatnya suku bunga pinjaman IMF sejak kuartal ketiga 2005 dari 4,3 persen menjadi 4,58 persen; kemampuan Bank Indonesia (BI) membayar cicilan utang kepada IMF; dan masalah cadangan devisa dan kemampuan kita (Indonesia) untuk menciptakan ketahanan.[5]

Angka kemiskinan dan pengangguran

Sejak krisis, angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Berdasar data Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia (BPS) bahwa 17,7 persen atau 39 juta penduduk Indonesia tergolong kategori penduduk miskin. Pengangguran sebanyak 10,4 persen. Di antara 100 juta angkatan kerja menganggur, 10,5 j pengangguran terbuka. pelunasan tersebut berdampak ekonomis dan politis

Perbaikan ekonomi makro

Adanya perbaikan ekonomi makro ditandai dengan:
  • Rendahnya angka inflasi pada September 2006 yang hanya mencapai 0,38 persen yang membuat ekspektasi inflasi tahun 2006 kembali satu digit dibawah 8 persen.
  • Pembayaran utang yang berimbang (balance of payment) yang membaik
  • Nilai tukar rupiah yang cukup stabil, yaitu sebesar Rp.9.200 per USD.
2.3.Pembiayaan Pembangunan di Indonesia
Pada dasarnya sumber pembiayaan pembangunan dapat diperoleh dari sumber pembiayaan konvensional dan non-konvensional. sumber pembiayaan konvensional berasal dari pendapatan daerah/kota (pajak, retribusi, hibah dll), sedangkan sumber pembiayaan non-konvensional berasal dari kerjasama pihak pemerintah dengan stakeholder lain yang terkait baik swasta maupun masyarakat seperti joint venture, konsesi, konsolidasi lahan dll. Instrument pembiayaan non-konvensional inilah yang biasanya menjadi sumber pembiayaan alternatif apabila pemerintah mengalami kendala pendanaan dalam melakukan suatu pembangunan.
Dari berbagai jenis instrumen pembiayaan yang ada ternyata hanya beberapa saja yang telah diterapkan di Indonesia secara intensif dan umumnya masih bersifat konvensional (pajak, pinjaman, retribusi dll). Mengingat makin terbatasnya keuangan negara, maka akan sangat bermanfaat apabila potensi yang dimiliki masing-masing di daerah digali secara optimal, khususnya bagi instrumen keuangan yang bersifat non-konvensional.
Pembiayaan non-konvensional berupa betterment levies pernah diterapkan di DKI Jakarta. Betterment levies adalah tagihan modal (capital charges) yang ditujukan untuk menutupi biaya modal dari investasi prasarana. Tujuannya tidak lain untuk mendorong masyarakat yang memperoleh manfaat dari adanya prasarana umum agar turut menanggung biayanya. Dengan demikian, pungutan ini dikenakan langsung kepada mereka yang memperoleh manfaat langsung dari adanya perbaikan prasarana umum tersebut. Namun ternyata dalam pelaksanaannya di DKI Jakarta sering menemui hambatan sehingga untuk saat ini tidak diterapkan kembali.
Adapun beberapa jenis instrumen non-konvensional lainnya yang sudah mulai diterapkan secara selektif dibeberapa tempat di Indonesia namun masih dalam taraf penjajagan, seperti linkage dan land readjustment.
Dalam pembiayaan linkage, developer diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis di daerah lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di daerah yang mereka inginkan. Metode semacam ini di Indonesia sudah mulai dikenal dan diterapkan oleh pemerintah, namun masih terbatas dalam sektor perumahan. Pemerintah melalui Menteri Negara Perumahan Rakyat menetapkan bahwa developer perumahan perlu menyeimbangkan pembangunan perumahan mewah, sedang dan sederhana; dengan kata lain para developer diwajibkan untuk melakukan pembangunan perumahan sederhana sebagai kompensasi diberikannya izin untuk membangun perumahan mewah. Adanya ketentuan ini, secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam penyediaan rumah sederhana dan atau sangat sederhana.
Sedangkan untuk land readjustment, walaupun belum merupakan penerapan land readjustment secara murni, di Indonesia telah dilaksanakan program semacam land readjustment berupa KIP (Kampoeng Improvement Program), Konsolidasi Tanah (Land Consolidation), dan Peremajaan Kota (Urban Renewal).
Melihat beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menerapkan beberapa sumber-sumber pembiayaan alternatif ini patut kita apresiasi. Namun masih dibutuhkan pengeksplorasian lebih lanjut terkait sumber-sumber non-konvensional sehingga nantinya bisa diterapkan di Indonesia. Pengeksplorasian ini mungkin bisa berdasar atas studi kasus dari negara-negara didunia yang telah berhasil mengimplementasikan konsep pembiayaan alternatif mereka. Contohnya seperti public-private partnership yang dilakukan di Melbourne, Australia, dimana dikenal dengan istilah Kerangka Kerja Kemitraan Victoria (The Partnerships Victoria Framework), dimana inti dari kerjasama antar pemerintah dan pihak swasta ini tidak lain untuk meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam pembangunan
Dengan adanya eksplorasi dan pengkajian sumber-sumber non-konvensional lainnya diharapkan permasalahan-permasalahan pembiayaan pembangunan di Indonesia berkurang dan proses pembangunan dapat berjalan lancar demi kemaslahatan masyarakat Indonesia










Bab 3
Penutup
3.1.Kesimpulan Materi
Pembangunan Daerah yang berusaha untuk meningkatkan output, menciptakan lapangan kerja, dan mengentaskan kemiskinan, seringkali gagal di masa-masa lampau hanya karena para ekonom dan perumus kebijakan lainnya lupa bahwa perekonomian daerah merupakan suatu system social utuh, yang terdiri dari kekuatan-kekuatan ekonomis dan non-ekonomis yang satu sama lain saling tergantung. Segenap kekuatan itu selalu berinteraksi, terkadang saling menunjang, tapi tidak jarang pula bersifat kontradiktif.
 Dan Indonesia adalah Negara besar yang tengah menggeliat, meskipun pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 2009 lalu namun mampu bertahan.
Masih ingatkah kita pada tahun 2009 lalu, saat perekonomian global mengalami kontraksi akibat krisis finansial yang melanda dunia, Indonesia mampu mencatat pertumbuhan sebesar 4,5 persen, tertinggi ketiga setelah China dan India.  
Sementara pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,5 persen, merupakan pencapaian tertinggi  setelah krisis 1997/1998 dan jauh lebih cepat dari laju pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya sebesar 3,9 persen.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya tidak terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia. Mengingat hingga saat ini Indonesia masih bergantung pada impor barang modal, perekonomian nasional membutuhkan kesinambungan pasokan valas.  
Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian besar berasal dari dana asing dalam bentuk investasi portofolio, yaitu berupa pembelian saham perusahaan lokal, Surat Berharga Negara, atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Aliran modal asing dalam investasi portofolio ini bersifat jangka pendek (hot money) dan rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). 
Sumber dana lain yang sifatnya lebih stabil (sustainable) dapat berasal dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) atau Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Namun demikian, dalam pelaksanaannya, tidak seluruh DHE masuk ke dalam negeri. Hal ini mengakibatkan pasar valas domestik secara struktural mengalami kekurangan pasokan, inilah yang dipenuhi oleh aliran modal asing jangka pendek. 
Pada 2011, jumlah DHE yang disimpan di luar negeri diperkirakan mencapai US$29 Miliar. Jumlah tersebut lebih dari cukup untuk menggantikan sumber dana pembangunan yang berasal dari ‘uang panas’ sebesar US$16 Miliar pada 2010, dan menyusut menjadi US$6 Miliar pada 2011.  
Atas dasar itulah Bank Indonesia pada September 2011 mengeluarkan aturan yang dapat memastikan penerimaan DHE melalui perbankan Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) berlaku pada tanggal 2 Januari 2012. 
Kebijakan tersebut tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini (UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar), yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Secara garis besar, aturan ini mewajibkan seluruh DHE diterima melalui bank devisa dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Namun untuk ekspor 2012 diberi kelonggaran batas waktu penerimaan DHE sampai dengan enam bulan setelah tanggal PEB. Sejalan dengan prinsip kebebasan kepemilikan dan penggunaan devisa, tidak ada kewajiban bagi eksportir untuk menyimpan DHE di bank dalam jangka waktu tertentu dan mengkonversi valas DHE  ke mata uang rupiah.  
Banyak manfaat yang akan dipetik dari penerapan kebijakan ini. Penempatan DHE melalui perbankan di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional karena dapat memperkuat stabilitas makroekonomi dan meningkatkan sumber pembiayaan ekonomi yang stabil. Adanya kebijakan DHE ini juga mendukung kebijakan perpajakan terkait dengan restitusi pajak serta diharapkan dapat meningkatkan kualitas statistik ekspor dan monitoring pasokan valas.  
Masuknya DHE ke perbankan nasional akan meningkatkan kesinambungan pasokan valas domestik dan mengurangi ketergantungan pada dana asing berjangka pendek sehingga memperkuat stabilitas nilai tukar dan ketahanan eksternal Indonesia.  
Nilai tukar yang stabil mengurangi dampak imported inflation yang dapat mengganggu upaya pencapaian stabilitas harga (inflasi). Lebih jauh, aliran DHE ke perbankan Indonesia juga diharapkan menjadi sumber dana yang dimanfaatkan oleh perbankan, mengaktifkan pasar valas di dalam negeri, dan mendorong pelaku pasar keuangan menciptakan pasar keuangan yang lebih sehat.
Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang mewajibkan eksportir memasukkan DHE-nya. Di regional  ASEAN, Malaysia mewajibkan hasil ekspor dibawa masuk ke perbankan domestik paling lambat 6 bulan setelah tanggal ekspor. 
Di Thailand, devisa wajib dibawa masuk ke perbankan domestik paling lambat 1 tahun setelah tanggal transaksi ekspor dan utang luar negeri. Sementara di Filipina, penarikan utang luar negeri untuk kegiatan domestik wajib masuk dan dikonversi ke peso. 
Di antara negara-negara emerging market, India mewajibkan hasil ekspor masuk paling lambat 1 tahun setelah tanggal ekspor dan wajib dikonversi ke mata uang lokal.  Selain itu, Brazil tidak mewajibkan masuknya hasil ekspor dan utang luar negeri, namun bila masuk ke perbankan nasional wajib dikonversi ke mata uang domestik.  
Sambil terus berupaya mengurangi ketergantungan kita pada impor, kita berharap banyak pada DHE untuk masuk menjadi sumber dana bagi pembiayaan pembangunan



3.2 Saran-Saran
1.sebaiknya dalam dalam pembiayaan pembangunan daerah maupun negara indonesia tidak hanya mengandalkan utang luar negeri karena akan sangat memberatkan untuk jangka waktu yang lama ,memang dalam jangka pendek  akan mengakibatkan pertumbuhan ekoomi tetapi dalam jangka panjang akan menyebabkan beban utang dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
2.sebaiknya penggunaan utang negara indonesia itu tepat guna ,coba dibayangkan jika utang suah banya tapi salah sasaran juga.malah akan memperburuk keadaan bangsa ini bukan?





Daftar Pustaka

Diktat Ekonomi Makro Universitas Negeri Medan
Diktat Ekonomi  Moneter Universitas Negeri Medan
Besari ,Sahari M.,Teknologi Nusantara,Jakarta:Salemba Empat,2008
Tambunan, Tulus T.H., Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
Todaro, Michael. P., Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, Jakarta, 1998.
www.google.com/pembangunan daerah daerah di Indonesia
www.vivanews.com/perekonomian indonesia tahun 2009
www.wikipedia.com/Utang luar negeri Indonesia
























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Babtis (Tardidi) di Gereja HKBP

Peta