pluralisme masyarakat indonesia
1.STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang
unik, yaitu
(1) secara
horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta
perbedaan-perbedaan kedaerahan. Sedangkan
(2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah
yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan
seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk,
suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan
masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk
sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang
merupakan perluasan dari konsep Furnivall tersebut.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah
menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society),
yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik
(JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The
University Press, 1967, halaman 446-469).
Sebagai suatu masyarakat majemuk, Furnivall menyebut
Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe masyarakat tropis di mana mereka yang
berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Orang-orang Belanda
sebagai golongan minoritas merupakan penguasa yang memerintah bagian amat besar
orang-orang Indonesia prubumi yang menjadi golongan kelas tiga di negerinya
sendiri. Golongan keturunan Tionghoa, sebagai golongan terbesar di antara
orang-orang keturunan Timur Asing lainnya, menempati kedudukan di antara kedua
golongan tersebut.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak
bersama (common will); masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri
atas elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras,
masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada sebagai suatu
kesuluruhan yang organis.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja saja,
mereka tidak menetap di Indonesia. Kehidupannya semata-mata adalah di sekitar
pekerjaannya saja. Mereka memandang masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan, dan masalah-masalah kemasyarakatan lainnya di Indonesia, tidak
sebagai warga masyarakat, apalagi warga negara, melainkan sebagai kapitalis
atau majikan dari buruh-buruh mereka. Banyak memang di antara mereka yang
tinggal di Indonesia sampai kira-kira 20 tahun, tetapi kemudian lebih suka
menghabiskan hari tuanya di negeri Belanda.
Orang-orang Timur Asing, terutama orang-orang Tionghoa, sama
dengan orang-orang Belanda. Mereka datang ke Indonesia untuk kepentingan
ekonomi. Kehidupan orang-orang pribumi pun demikian juga, kehiduoan
mereka semata-mata adalah kehidupan pelayan di negerinya sendiri.
Tiga golongan masyarakat ini merupakan masyarakat kasta yang
masing-masing mempertahankan atau memelihara cara berfikir, berperasaan, dan
bertindak golongannya, hasilnya adalah tidak adanya kehendak bersama sebagai
suatu masyarakat yang utuh atau organis.
Demikianlah gambaran masyarakat Indonesia pada masa Hindia
Belanda sebagaimana digambarkan oleh Furnivall. Keadaannya pada masa kini
sudah tentu berbeda dari pada masa tersebut. Namun demikian, mengikuti
beberapa modifikasi atas pengertian masyarakat majemuk yang dicetuskan setelah
generasi Furnivall, konsep masyarakat majemuk tetap dapat digunakan untuk
menganalisis struktur sosial masyarakat Indonesia.
Dengan mengabaikan perwujudannya yang kongkrit di masa kini,
esensi dari konsepsi Furnivall tentang masyarakat majemuk adalah suatu
masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial
yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota
masyarakat kurang nemiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan,
kurang memiliki homogenitas kebudayaan, bahkan kurang memiliki dasar-dasar
untuk saling memahami satu terhadap yang lain.
Tegasnya, suatu masyarakat disebut majemuk apabila
masyarakat tersebut secara struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang
bersifat diverse. Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang
berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota
masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara
tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering tumbuhnya konflik-konflik
sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling
ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi
bagian-bagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian, Clifford
Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang
terbagi-bagi ke dalam subsistem-subsistem yang masing-masing terikat ke dalam
ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Dengan
cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa
karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut.
- terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
- memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
- kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
- secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
- secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
- adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain
1.1.Pluralitas
Indonesia sesudah Masa Revolusi
Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat oleh Furnivall
sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang saling berbeda, yaitu
orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan pribumi.Lalu, bagaimana
apabila digunakan setelah masa revolusi 1945?
Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya pada 17 Agustus
1945, golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan penting, terlempar
keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Maka sejak saat itu,
pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang terdapat di antara
golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya yang lebih penting daripada
apa yang dikemukakan oleh Furnivall.
1.2.Konfigurasi
Etnis Masyarakat Majemuk
Dalam makalah yang disampaikan pada seminar Pluralitas,
Kesenjangan Sosial, dan Integrasi Nasional di Surabaya tanggal 23 Juli 1990,
Dr. Nasikun menyatakan bahwa berdasarkan konfigurasinya, masyarakat majemuk
dapat dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu: (1) masyarakat majemuk dengan
kompetisi seimbang, (2) masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, (3)
masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan (4) masyarakat majemuk dengan
fragmentasi.
Kategori pertama merupakan masyarakat majemuk yang terdiri
atas sejumlah kelompok etnik yang kurang lebih seimbang, sehingga untuk
mencapai integrasi sosial atau pemerintahan yang stabil diperlukan koalisi
lintas-etnis.
Kategori kedua dan ketiga merupakan varian-varian masyarakat
majemuk yang memiliki konfigurasi etnik yang tidak seimbang, di mana salah satu
kelompok etnik tertentu (kelompok mayoritas pada kategori kedua dan kelompok
minoritas pada kategori ketiga) memiliki competitive advantage yang
strategis di hadapan kelompok-kelompok yang lain.
Masyarakat majemuk dengan kategori keempat (dengan
fragmentasi) meliputi masyarakat-masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnik, semuanya dengan jumlah anggota yang kecil dan tidak satupun
memiliki posisi politik yang dominan dalam masyarakat. Kehidupan politik dalam
masyarakat dengan konfigurasi demikian sangatlah labil, karena ketidakmampuan
membangun coalition building yang diperlukan untuk mengakomodasi
konflik-konflik yang pada umumnya bersifat anarkhis sebagai akibat dari
kecurigaan etnik dan hadirnya pemerintahan yang otoriterian.
1.3.Sebab-sebab
pluralitas
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas
masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi.
1.3.A. Faktor pertama
keadaan geografik wilayah Indonesia
yang terdiri atas kurang lebih tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang
equator kurang lebih tiga ribu mil dari timur ke barat, dan seribu mil dari
utara selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
terjadinya pluralitas sukubangsa di Indonesia.
Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini
mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai emigran daru daerah yang
kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira dua ribu tahun
sebelum masehi, keadaan geografik serupa itu telah memaksa mereka harus tinggal
menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lainnya. Isolasi geografik
demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau
atau sebagian dari pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan
sukubangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan-kesatuan sukubangsa
yang lain. Setiap kesatuan sukubangsa terdiri atas sejumlah orang yang
dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai
suatu jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil,
satuan-satuan sosial itu mengembangkan dan akhirnya memiliki bahasa dan warisan
kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan
bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang
seringkali didukung oleh mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat.
Tentang berapa jumlah sukubangsa yang sebenarnya ada di
Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang tidak sama di antara para
ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya lebih
kurang tiga ratus sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan
identitas kultural yang berbeda-beda.
Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa di
Indonesia, masing-masing dengan adat istiadat yang tidak sama. Lebih dari
sekedar menyebutkan banyaknya sukubangsa di Indonesia, Skinner menggambarkan
juga perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa
yang paling besar sebagaimana disebut oleh Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura,
Mingangkabau, dan Bugis. Kemudian ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup
besar, yaitu Bali, Batak Toba, dan Sumbawa.
Buku
Statistik Hindia Belanda menggambarkan prosentasi sukubangsa di Indonesia pada
tahun 1930, sebagai berikut.
- Jawa : 47.02 persen
- Sunda : 14,53 persen
- Madura : 7,28 persen
- Minangkabau : 3,36 persen
- Bugis : 2,59 persen
- Batak : 2,04 persen
- Bali : 1,88 persen
- Betawi: 1,66 persen
- Melayu: 1,61 persen
- Banjar : 1,52 persen
- Aceh: 1,41 persen
- Palembang: 1,30 persen
- Sasak: 1,12 persen
- Dayak: 1,10 persen
- Makasar: 1,09 persen
- Toraja: 0,94 persen
- lainnya : 9,54 persen.
Walaupun angka tersebut dibuat pada waktu yang telah sangat
lampau, tetapi melihat angka kelahiran, angka kematian, atau angka pertumbuhan
penduduk, mungkin hal tersebut masih dapat digunakan untuk menggambarkan
kondisi saat ini.
Mengikuti pengertian sukubangsa yang dikemukakan oleh para
ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan orang-orang Tionghoa sebagai salah
satu sukubangsa di Indonesia, dan berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan
berdasarkan perkiraan tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta
dengan mengingat kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama
tahun 1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di
Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk pribumi
waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang Tionghoa sangat
kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi mengingat kedudukan mereka
yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi, mereka sangat mempengaruhi
hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa yang lain (yang secara keseluruhan
disebut pribumi).
1.3.B.Faktor
kedua
yang menyebabkan pluralitas masayarakat
Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera
Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu
lintas perdagangan, sehingga sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas
agama di dalam masyarakat Indonesia.
Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai
pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang
pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari
India sejak kurang lebih empat ratus tahun sebelum masehi.
Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu tersebar meliputi
daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan kebudayan
asli yang telah hidup dan berkembang lebih dulu. Namun, pengaruh Hindu dan
Budaha terutama dirasakan di Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat
Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses
penyebaran yang luas pada abad ke-15. Pengaruh Islam sangat kuat terutama
pada daerah-daerah di mana Hindu dan Budha tidak tertanam cukup kuat. Karena
keadaan yang demikian, cara beragama yang sinkretik sangat terasakan,
kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama
Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia
pada permulaan abad ke-17 dan terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil
mengubah keadaan tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah
yang sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara
itu, Bali masih tetap merupakan daerah agama Hindu.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat
Indonesia melalui kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16.
Kedatangan mereka ke Indonesia tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah
Kepulauan Maluku, suatu jenis barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa
pada waktu itu.
Kegiatan missionaris yang menyertai kegiatan perdagangan
mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah
tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis ke luar dari
daerah-daerah tersebut pada kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama
Katholik pun segera digantikan pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan.
Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama
apabila dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama
Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya tidak
cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu.
Hasil fina dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita
jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar
Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di
daerah-daerah yang strategis di dalam jalur perdagangan internasional pada
waktu masuknya reformasi agama Islam, golongan Islam konservatif-tradisional di
daerah pedalaman-pedalaman, dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di
daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan
sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma)
terutama di Bali.
Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di
daerah-daerah pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan
pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat, golongan Islam
konservatif-tradisional di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur,
serta golongan Kristen yang tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa.
Faktor ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur yang
tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara, telah
mengakibatkan pluralitas regional. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah
merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda,
yakni daerah pertanian basah (wet rice cultivation) yang terutama banyak
dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, serta daerah ladang (shifting cultivation)
yang banyak dijumpai di luar Jawa.
1.4.Struktur
Kepartaian Sebagai Wujud Struktur Sosial Masyarakat Indonesia
Apabila perbedaan sukubangsa dan regional secara sederhana
membedakan antara Jawa dan Luar Jawa, perbedaan agama membedakan golongan Islam
Santri, Islam Non-Santri, dan Kristen, perbedaan lapisan sosial membedakan
golongan priyayi dan wong cilik yang secara simplitis oleh Edward Shills
disederhanakan lagi menjadi kota dan desa, maka konfigurasi semua itu
menghasilkan penggolongan masyarakat ke dalam dua belas golongan, sebagai
berikut.
Golongan
|
Islam
Santri
|
Islam
NonSantri
|
Kristen
|
|||
Daerah
|
Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota
|
Jawa
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
Non-Jawa
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa itu membawa akibat
yang luas lagi mendalam di dalamn seluruh pola hubungan-hubungan sosial di
dalam masyarakat, di bidang politik, ekonomi, hukum, kekeluargaan, dan
sebagainya.
Timbulnya kematangan kondisi-kondisi teknis, politis, dan
sosial sejak permulaan abad ke-20, dan terutama sesudah kemerdekaan, telah
berhasil mengubah kelompok-kelompok semu tersebut menjadi berbagai kelompok kepentingan.
Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah yang
kemudian kita kenal sebagai partai politik.
Pada awal pertumbuhannya di Indonesia, kelompok-kelompok
kepentingan semacam itu mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan
yang bersifat sosio-kultural daripada yang bersifat politis. Baru di kemudian
hari kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi
organisasi yang benar-benar bersifat politis.
Beberapa partai politik, seperti Masyumi yang menurut hasil
Pemilu 1955 merupakan partai paling besar sesudah PNI, atau Partai Nahdatul
Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga, kiranya dapat memberikan
gambaran tentang struktur kepartaian yang berbasis pada kelompok-kelompok yang
ada pada masyarakat.
Pada tahun 1943, beberapa organisai keagamaan termasuk
Muhammdiyah dan Nahdatul Ulama bergabung ke dalam suatu organisasi massa dengan
nama “Masyumi” (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada permulaan revolusi,
organisasi massa tersebut mengubah dirinya menjadi suatu partai politik yang
berdiri di atas landasan organisasi-organisasi keagamaan dengan Muhammadiyah
dan Nahdatul Ulama sebagai dua di antara anggota-anggotanya yang paling besar.
Persaingan lama antara Muhammadiyah dan NU, yang bersumber pada perbedaan latar
belakang sosio-kultural di antara pendukung Muhammadiyah dan NU pun segera
terlihat di dalam tubuh Masyumi. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang
Muhammadiyah adalah pendukung gerakan modernisme Islam yang seringkali
dihubungkan dengan ajaran-ajaran Muhammad Abduh dari Universitas Al-Azhar di
Cairo pada abad ke-19. Sekalipun organisasi Muhammadiyah berpusat di Jawa,
tetapi basis pendukungnya terutama berasal dari Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah sepanjang pantai Utara Jawa Tengah dan
Jawa Timur yang cenderung bersifat kosmopolitan, kekotaan, dan suka berdagang.
Kebanyakan warga NU –termasuk para pemimpinnya– merupakan
orang-orang yang menolak gerakan modernisme Islam. Kelahirannya sebagai
organisasi keagamaan pada tahun 1926 sendiri merupakan reaksi atas munculnya
gerakan modernisasi Islam yang dilancarkan oleh Muhammadiyah. Anggota-anggota
NU berasal dari daerah-daerah perdesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan
kepercayaan yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari agama
Hindu dan kepercayaan Kejawen yang telah hidup jauh sejak sebelum masuknya
agama Hindu di Pulau Jawa.
Konflik dan ketegangan-ketegangan di antara NU dengan
Muhammadiyah pada tubuh Masyumi diakhiri dengan keluarnya NU dari Masyumi, dan
pada tanggal 30 Agustus 1952, bersama dengan PSII dan PERTI, NU mendirikan Liga
Muslimin Indonesia, dan 30 Agustus 1952 itu sendiri dikenal sebagai tanggal
berdirinya NU sebagai sebuah partai politik.
Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat
penting di dalam kehidupan politik Indonesia pada masa-masa silam adalah PNI
(Partai Nasional Indonesia). Pada Pemilu 1955 merupakan partai paling besar.
Sejak awal kelahirannya (1927), PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan
elit birokrasi, yang kebanyakan adalah elite golongan Jawa yang berpendidikan.
Dukungan yang kemudian menjadi sangat kuat dari lapisan
bawah masyarakat Jawa terjjadi ketika PNI merumuskan isue tentang Marhaenisme
sebagai ideologi partai dan faktor bung Karno sebagai tokoh (Bapak
Marhaenisme).
Pendukung PNI kebanyakan berasal dari golongan Islam Nominal
yang sangat hormat kepada pimpinan birokrasi, dan karena cenderung menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme menyebabkan golongan ini tidak menyukai
partai-partai Islam.
Partai lain yang tidak kalah pentingnya adalah PKI (Partai
Komunis Indonesia). Pada Pemilu 1955 partai ini merupakan terbesar ke-empat.
Seperti PNI, pendukung PKI terutama dari kalangan Islam Non-Santri di
daerah-daerah Jawa Tengah dan Timur. Lebih dari PNI, pendukung (basis massa)
PKI terutama di lapisan bawah masyarakat desa, karenanya di antara
partai-partai politik yang ada, PKI-lah yang lebih memiliki banyak pemimpin
dari lapisan bawah. Popularitas PKI di kalangan bawah, terutama di perdesaan Jawa,
setara dengan PNU.
Sebuah partai yang lebih kecil dari yang sudah disebut di
depan adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia). Partai ini lebih didukung oleh
golongan eliter berpendidikan, seperti halnya PNI, tetapi PSI kurang populer di
kalangan masyarakat bawah atau perdesaan.
Sementara itu ada dua partai yang didukung oleh orang-orang
dari kotak 11 dan 12 pada diagram di atas, adalah PARKINDO (Partai Kristen
Indonesia) dan Partai Katholik Indonesia. Pengaruh kedua partai ini meliputi
daerah-daerah yang penduduknya menganut agama Katholik dan agama Protestan,
seperti Maluku, Sulawesi Utara, Tapanuli, NTT, dan sedikit di daerah pedalaman
Kalimantan, serta di daerah-daerah perkotaan hampir di seluruh wilayah
Indonesia.
Melihat struktur politik seperti diuraikan di atas, dapat
dimengerti bahwa konflik-konflik di antara partai-partai politik di masa silam
itu lebih merupakan konflik di antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan
sosial-kultural berdasarkan perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan stratifikasi
sosial, walau sebenarnya tidak sesederhana ini. Konflik-konflik partai politik
jauh lebih kompleks dari sekedar bersumber pada perbedaan-perbedaan di atas.
Gambaran
yang diberikan oleh Herberth Feith berikut barangkali lebih dapat menjelaskan.
Feith menjelaskan bahwa konflik-konflik politik di Indonesia
lebih merupakan konflik ideologis yang bersumber dari ketegangan-ketegangan
yang terjadi antara (1) pandangan-pandangan (ideologi) tradisional (tradisi
Hindu-Jawa dan Islam) di satu pihak, dan (2) pandangan-pandangan (ideologi)
modern di lain pihak, yang perwujudannya adalah konflik ideologis di antara
lima aliran pemikiran politik yang ada, yaitu:
- Nasionalisme Radikal
- Tradisionalisme Jawa
- Islam
- Sosialisme Demokrat, dan
- Komunisme
dan aliran-aliran tersebut dalam
batas-batas tertentu berasosiasi dengan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
daerah, dan kelas sosial.
Pola kepartaian sebagaimana digambarkan di atas tentu saja
telah mengalami perubahan-perubahan. Dibubarkannya Masyumi, PSI, dan PKI, serta
terjadinya fusi partai-partai Islam menjadi faktor penting perubahan-perubahan
itu. Namun, dasar-dasar pemikiran politik yang bersumber pada
perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan kelas sosial, juga
aliran-aliran politik, masih tetap terbaca pada struktur kepartaian dewasa ini.
1.5.Struktur
Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu
akan dan telah menimbulkan persoalan-persoalan tentang bagaimana masyarakat
Indonesia terintegrasi secara horizontal maupun vertikal pada tingkat nasional.
Apabila mengikuti pandangan para penganut teori
fungsionalisme-struktural, sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas
landasan dua hal, yaitu: (1) konsensus di antara sebagian besar anggota
masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental, dan (2)
anggota-anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan
sosial (cross-cutting affiliation), sehingga tumbuh cross-cutting
loyalities, loyalitas yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat
terhadap kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi
anggotanya.
Ketika hal ini diterapkan di suatu masyarakat majemuk akan
berhadapan dengan rendahnya kemampuan elemen-elemen dalam masyarakat majemuk
membangun konsensus tentang nilai-nilai dasar sebagaimana dikemukakan oleh van
den Berghe. Segmentasi ke dalam bentuk satuan-satuan sosial yang masing-masing
terikat oleh ikatan-ikatan yang sifatnya primordial, mudah sekali menimbulkan
konflik-konflik yang terjadi baik pada tingkat ideologis maupun politis.
Pada tingkat ideologis, konflik tersebut terwujud di dalam
bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh (serta menjadi ideologi)
satuan-satuan sosial. Pada tingkat politik, konflik-konflik di antara
elemen-elemen dalam masyarakat majemuk terjadi dalam bentuk pertentangan dalam
pembagian kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Dalam situasi konflik, sadar atau
tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara
memperkokoh solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya dengan cara
memperkokoh solidaritas ke dalam, membentuk organisasi-organisasi
kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama: mendirikan
sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas kultural, bersaing di dalam bidang
pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Mengikuti pandangan Parsons, kelangsungan hidup masyarakat
Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang
disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang Indonesia, akan tetapi lebih
dari itu, nilai-nilai umum tersebut harus pula dihayati benar melalui proses
sosialisasi dan internalisasi.
Pada derajat tertentu, pengakuan bertumpah darah satu,
berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, yang tumbuh sebagai hasil gerakan
nasionalisme pada permulaan abad ke-20 yang berjiwa anti-kolonialisme itu,
merupakan konsensus nasional yang memiliki daya tiada terkira di dalam mengintegrasikan
masyarakat Indonesia sampai pada saat ini.
Pandangan para penganut pendekatan konflik, bahwa masyarakat
majemuk dapat terintegrasi di atas paksaan (coercion) dari suatu
kelompok-kelompok atau kesatuan sosial yang dominan, memperoleh kebenaran
paling tidak pada masyarakat Indonesia di zaman kolonial, di mana terdapat
sejumlah kecil orang-orang kulit putih dengan kekuasaan politik, militer, dan
ekonominya yang mampu menguasai sejumlah besar orang yang terpisah-pisah secara
etnis, ekonomi, politik, ideologis, maupun budaya ke dalam satuan-satuan sosial
yang banyak sekali jumlahnya.
1.6.Konsensus
atau paksaan?
Mengikuti pemikiran R. William Lidle, konsensus nasional
merupakan prasyarat bagi tumbuhnya integrasi nasional, karena integrasi
nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila, (1) sebagian besar
anggota masyarakat sepakat tentang batas-batas teritorial kehidupan
politik dalam mana mereka menjadi warganya, dan (2) sebagian besar warga
masyarakat sepakat tentang struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari
proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di wialayah
teritorial tersebut.
Dengan kata lain, integrasi nasional hanya dapat tumbuh di
atas konsensus mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik
yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut; yang pertama: kesadaran sebagai
warga sebuah bangsa dan yang kedua konsensus mengenai bagaimana suatu kehidupan
bangsa diselenggarakan, termasuk sistem nilai yang mendasari hubungan-hubungan
sosial di antara para anggota suatu bangsa.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah atau ideologi negara
dalam tataran yang sangat umum dapat dinyatakan sebagai kesepakatan nasional
tentang nilai-nilai yang bersifat dasar. Kemudian, perundang-undangan yang
lahir dari sistem politik yang ada, dapat dikatakan sebagai kesepakatan
menganai bagaimana kehidupan bangsa ini diselenggarakan.
Walaupun demikian, seperti berulang disampaikan, pembahasan
tentang bagaimana masyarakat majemuk terintegrasi dalam tingkat nasional tidak
dapat dilihat dari sudut pandang teori struktural fungsional. Sifat majemuk
masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya
konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle, dan
yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas
landasan coercion.
1.7.Bentuk
struktur sosial dan integrasi nasional
Sesudah revolusi kemerdekaan,
konflik di antara golongan-golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah
menjadi tidak bersifat eksklusif lagi. Perbedaan sukubangsa, yang pada masa
penjajahan lebih merupakan perbedaan ras, tidak lagi jatuh berhimpitan dengan
perbedaan-perbedaan agama, daerah, dan pelapisan sosial. Perbedaan antara
sukubangsa Jawa dan luar Jawa tidaklah dengan sendirinya merupakan perbedaan
antara golongan Islam Santri, golongan Abangan, dan golongan Kristen. Mereka
yang berasal dari sukubangsa-sukubangsa berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi
anggota dari suatu golongan agama yang sama, demikian juga sebaliknya. Struktur
demikian, menurut Peter M. Blau disebut struktur sosial yang mengalami
interseksi (intersection social structure), yang fungsinya positif atau
mendukung terciptanya integrasi sosial. Berbeda dengan struktur sosial yang
berhimpitan yang disebut consolidated social structure (struktur sosial
terkonsolidasi) yang menghambat terciptanya integrasi social.
2.PEMBAGIAN LINGKARAN
HUKUM ADAT MENURUT VAN VOLLEN HOVEN
2.1.PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM ADAT
MENURUT VAN VOLLEN HOVEN
Van Vollen Hoven membagi lingkungan
hukum adat menjadi 19 lingkungan hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah
dimana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van
Vollen Hoven disebut “rechtskring”. Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut
dibagi lagi kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau
“Rechtsgouw”. Kesembilan belas lingkaran hukum adat itu ialah :
1.
Aceh (Aceh
Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).
2.
Tanah
Gayo, Alas, dan Batak.
1. Tanah Gayo (Gayo Leus).
2. Tanah Alas.
3. Tanah Batak (Tapanuli).
a. Tapanuli Utara:
1. Batak Pakpak (Barus).
2. Batak Karo.
3. Batak Simelungun.
4. Batak Toba (Simsir, Balige,
Laguboti, Lumban, Julu).
b. Tapanuli Selatan:
1. Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2. Angkola.
3. Mandailing (Sayurmatinggi).
3. Nias (Nias
Selatan).
4. Tanah
Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh Kota, Tanah
Kampar, Kerinci). Mentawai (Orang Pagai).
5. Sumatera
Selatan.
a. B engkulu (Rejang).
b. Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian,
Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang).
c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya,
Kubu, Pasemah, Semendo).
d. Jambi (Batin dan Penghulu).
e. Enggano.
6.
Tanah
Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).
7.
Bangka dan
Belitung.
8.
Kalimantan
(Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten,
Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
9.
Gorontalo
(Bolaang Mangondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah,
Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori,
To Lainang, Kep. Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis,
Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate,
Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu,
Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
14. Irian.
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor -
Timor, Timor Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima).
16. Bali dan Lombok (Bali
Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok,
Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura
( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan (Surakarta,
Yogyakarta).
19. Jawa Barat (Pariangan, Sunda,
Jakarta, Banten).
2. 2. Uraian tentang Pembagian Lingkungan
Hukum Adat ,dengan sebuah kesimpulan bahwa Pembagian Lingkungan Hukum
Adat tersebut masih relevan dengan keadaan sekarang atau tidak relevan lagi.
Untuk pembagian Lingkungan Hukum Adat menurut Van Vollen
Hoven tersebut jika dihubungkan atau dikaitkan dengan keadaan sekarang ini
sudah tidak relevan lagi karena pada saat ini lingkungan hukum adat tersebut
sudah tidak murni lagi.
Hukum adat akan tetap berlaku jika masih di taati oleh
masyarakat adat tersebut, jika tidak ada yang mentaati maka hukum adat tersebut
tidak menjadi hukum lagi dan lama-lama akan hilang. Sedangkan pada saat ini
lingkungan hukum adat sudah mulai pudar dengan adanya modernisasi atau semakin
berkembangnya pola masyarakat yang ada sehingga mereka lebih condong untuk
menggunakan hukum nasional.
Tetapi lingkungan
hukum adat yang ada tidak serta merta di hapuskan karena di dalam UUD 1945
hukum adat tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Hukum adat sekarang lebih dianggap sebagai
budaya pluralis atau kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dengan beragam
suku bangsa tetapi tetap satu berasaskan nasionalisme. Tetapi dalam kasus-kasus
tertentu kita juga bisa menggunakan hukum adat sebagai salah satu cara
penyelesaian yang di dalam hukum adat lebih mengutamakan asas musyawarah.
Hukum adat di Indonesia masih banyak berlaku di daerah-daerah
tertentu yang disebutkan oleh Van Vollen Hoven tersebut masih sangat di taati,
tetapi untuk generasi mudanya yang mulai banyak mengenyam pendidikan dan mulai
berpikir realistis maka bisa ada kemungkinan bahwa hukum adat lama kelamaan
akan hilang atau tidak berlaku lagi. Pemerintah sebaiknya memberikan
perlindungan terhadap hukum adat tersebut supaya hukum adat tersebut tetap ada,
karena kadang – kadang masyarakat lebih mengatakan bahwa hukum adat adalah
cara-cara yang baik untuk penyelesaian sebuah perkara atau permasalahan.
Pada masyarakat adat cenderung lebih memikirkan tentang
kebutuhan social yang selalu mendahulukan kepentingan bersama, adanya asas
gotong royong, musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Memang kelihatannya
dengan pembagian lingkungan hukum adat diatas seolah-olah bahwa hukum di
Indonesia terkotak-kotak, padahal memang seperti itu lah Indonesia yang
mengadopsi beberapa hukum, seperti hukum Eropa Kontinental, Anglo America dan
Hukum Adat sebagai hukum asli orang Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai
banyak suku, budaya dan kebiasaan yang menjadi kekayaan Indonesia, tetapi
kadang-kadang kita melihat bahwa apa yang kita punya tidak kita jaga atau
dilestarikan sebagaimana mestinya sehingga budaya kita diakui oleh Negara lain.
2.3.Kesimpulan
Bahwa hukum adat harus tetap dipertahankan sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang undang, kesusilaan dan ketertiban umum, karena hukum
adat merupakan salah satu sumber hukum nasional kita. Kalau bisa harus di
buatkan undang undang yang mengatur tentang pemberlakukan hukum adat di wilayah
dimana hukum adat itu berlaku. Tidak bisa di pungkiri bahwa di Indonesia masih
banyak orang – orang yang menggunakan hukum adat dalam penyelesaian masalah,
terutama masyakat pedesaan. Untuk hukum adat, kebiasaan dan budaya Indonesia
tolong di terapkan kepada jiwa-jiwa anak bangsa dari kecil supaya mereka yang
belajar mulai saat kecil tersebut tumbuh rasa cinta terhadap tanah air yang
penuh dengan kekayaan adat dan budaya yang ada.
Oleh karna itu maka tetap enjujung huku
adat maka kita melestarikan kebudayaan sendiri sebagai generasi baru.
Komentar
Posting Komentar