Hukum Dalam Perjanjian Dagang
UPAYA
HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KETENTUAN THE
UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE
GOODS (CISG) DANKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Dalam CISG upaya hukum bagi penjual
dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada pelaksanaan perjanjian dibagi dalam
tiga kategori yaitu dalam hal breach of contract, fundamental contract,
dan anticipatory breach.Dalam KUHPerd upaya hukum bagi para pihak dalam
perjanjian jual-beli diatur dalam pasal 1236-1243 KUHPerd dalam hal terjadi
wanprestasi dan wanprestasi khusus yang masing-masing memiliki konsekuensi dan
durasi pengajuan gugatan yang berbeda. Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur
dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.
Upaya Hukum dalam Breach of Contract
Bagi Pembeli diatur dalam pasal
45-52 CISG dan 74-77 CISG.
-
Pembeli berhak meminta penjual untuk melakukan penyerahan barang.
-
Pembeli berhak meminta barang pengganti dan ganti rugi.
-
Pembeli berhak meminta pembatalan perjanjian.
-
Pembeli berhak meminta penurunan harga.
Bagi Penjual diatur dalam pasal
61-65 CISG dan 74-77 CISG.
-
Penjual berhak meminta pelaksanaan perjanjian pada pembeli untuk membayar
harga, menerima penyerahan barang dan menentukan perpanjangan waktu untuk
melakukan kewajiban.
-
Penjual berhak meminta pembatalan perjanjian.
-
Penjual berhak meminta ganti rugi termasuk kehilangan keuntungan (pasal 74-77
CISG).
Upaya-upaya hukum yang diatur dalam
CISG saling berkaitan. Hak untuk pemulihan kerugian sebagaimana diatur dalam
pasal 74-77 CISG tidak hilang bila para pihak menggunakan upaya hukum lainnya .
Upaya Hukum dalam Fundamental Breach
Pasal 25 CISG menegaskan pengertian
dari fundamental breach bahwa suatu pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh
salah satu pihak akan bersifat mendasar apabila pelanggaran ini akan
menimbulkan kerugian pada pihak lainnya sedemikian besarnya sehingga tidak
memungkinkan untuk memperoleh apa yang diharapkan menurut perjanjian tersebut,
kecuali pihak yang melakukan pelanggaran tersebut memang tidak dapat
memperkirakan sebelumnya terjadinya hal tersebut, maupun siapapun lainnya dalam
keadaan yang sama seperti dirinya akan secara wajar tidak dapat memperkirakan
akibatnya yang demikian.
Sebagai akibat hukum dari
fundamentum breach masing-masing pihak dapat meminta pembatalan perjanjian vide
pasal 26 CISG.
Upaya Hukum dalam Anticipatory
Breach
Para Pihak Berhak Meminta Penundaan
Pelaksanaan Perjanjian.
Berdasarkan pasal 71 CISG,
baik-penjual maupun pembeli dapat menunda pelaksanaan kewajiban apabila pihak
lawan tidak melaksanakan suatu bagian penting dari kewajibannya sebagai akibat
dari suatu kekurangan atas kemampuan pelaksanaan kewajiban atau
kebonafiditasnya atau atau perbuatannya dalam mempersiapkan pelaksanaan atau
pelaksanaan perjanjian tersebut.
1. Para Pihak Berhak Meminta Pembatalan
Perjanjian.
Menurut pasal 72 CISG apabila
sebelum tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas bahwa salah satu pihak
akan melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap perjanjian maka pihak
lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan dengan pemberitahuan.
Dalam hal penyerahan barang secara
angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk melaksanakan kewajibannya merupakan
suatu pelanggaran mendasar dan karena itu dapat dimintakan pembatalan
perjanjian.Namun demikian menurut CISG, tindakan avoidance tidak diberlakukan
untuk seluruh isi perjanjian.Berdasarkan ketentuan pasal 81 CISG, avoidance
tidak berlaku atas ketentuan mengenai sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan
kewajiban para pihak sebagai akibat avoidance, dan pihak yang telah
melaksanakan perjanjian baik secara keseluruhan atau sebagian berhak menuntut
ganti kerugian.
Dalam perjanjian obligatoir,
senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan
kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak
lain.
Pihak yang berhak menuntut disebut
pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib memenuhi tuntutan
disebut sebagai pihak berhutang atau debitor.Sebaliknya, sesuatu yang dapat
dituntut disebut dengan istilah prestasi.
Prestasi dalam KUHPerd dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan,
dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Jika seorang debitor tidak memenuhi
kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut dikatakan wanprestasi yang
menyebabkannya dapat digugat di depan hakim.
Subekti (1990: 45) mengklasifikasi
tindakan wanprestasi menjadi empat macam, yaitu:
-
Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan;
-
Melaksanakan apa yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;
-
Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
-
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun Pitlo (1988: 55) berpendapat
bahwa wanprestasi itu dapat terjadi jika debitor mempunyai kesalahan.Kesalahan
adalah adanya unsur kealpaan atau kesengajaan.Kesengajaan terjadi jika debitor
secara tahu dan mau tidak memenuhi kewajibannya.Kealpaan terjadi jika debitor
dapat mencegah penyebab tidak terjadinya prestasi dan debitor dapat disalahkan
karena tidak mencegahnya.
Demikian demikian seorang dapat
dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan
kewajibannya unuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya kewajiban tersebut
karena kelalaian atau kesengajaan.
Van Dume (1989: 31) menyatakan bahwa
apabila terjadi wanprestasi, maka kreditor yang dirugikan dari perikatan
timbal-balik mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan
tuntutan, yaitu:
-
Menuntut prestasi saja;
-
Menuntut prestasi dan ganti rugi;
-
Menuntut ganti rugi saja;
-
Menuntut pembatalan perjanjian;
-
Menuntut pembatalan perjanjian dan ganti rugi.
Hal tersebut tidak lain dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan bagi kreditor, agar dapat mempertahankan
kepentingan terhadap debitor yang tidak jujur. Namun demikian, hukum jugaa
memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitor yang tiddak memenuhi
kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian.
Subekti (1985: 55) mengemukakan
bahwa seorang debitor yang dinyatakan wanprestasi masih dimungkinkan untuk
melakukan pembelaan berupa :
-
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa;
-
Mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai;
-
Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Ketentua mengenai keadaan memaksa
tersebut dalam KUHPerd dapat ditemui dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerd.Kedua
pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor yang telah beritikad baik.
Namun demikian, Pitlo (1988: 65)
menegaskan bahwa jika debitor telah melakukan wanprestasi, maka debitor tidak
dapat lagi membebaskan diri dengan dasar keadaan memaksa yang terjadi setelah
debitor debitor ingkar janji.
Halangan debitor untuk melaksanakan
perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara teoritis dapat dibedakan
antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak.
Prodjodikoro (1989: 56) menyatakan
bahwa keadaan memaksa absolut terjadi keadaan itu menyebabkan janji sama sekali
tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun. Keadaan memaksa tidak
mutlak terjadi apabila pelaksanaan janji masih mungkin tetapi demikian sukarnya
dan dengan pengorbanan dari pihak yang berwajib sedemikian rupa sehingga
patutlah bahwa kewajiban untuk melaksanakan janji itu dianggap tidak ada atau
lenyap.
A. Kesimpulan
Dalam perjanjian obligatoir seperti
perjanjian jual-beli senantiasa terdapat suatu kewajiban oleh salah satu pihak
dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh
pihak lain. CISG maupun KUHPerd masing-masing memberikan beberapa upaya hukum
yang dapat dipilih oleh para pihak dalam hal terjadi pelanggaran atas
perjanjian jual-beli, yaitu:
1. Meminta pelaksanaan perjanjian;
2. Meminta pembatalan perjanjian;
3. Meminta ganti kerugian termasuk
kerugian akibat kehilangan keuntungan.
Dalam CISG, masih dikenal upaya
hukum yang lain yaitu penundaan pelaksanaan perjanjian yang dapat diminta oleh
salah satu pihak atas pihak lainnya apabila terjadi anticipatory breach
sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 dan 72 CISG.
Secara garis besar, upaya hukum
dalam perjanjian jual-beli menurut CISG adalahsebagai berikut :
Dalam hal breach of contract
:
-
upaya hukum bagi pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG .
-
upaya hukum bagi penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG.
Dalam hal fundamental breach
:
Upaya hukum bagi penjual dan pembeli
diatur dalam pasal 26 CISG.
Dalam hal anticipatory
breach :
Upaya hukum bagi penjual dan pembeli
diatur dalam pasal 71 dan 72 CISG.
Sementara itu, ketentuan untuk ganti
kerugian bagi para pihak diatur dalam pasal 74-77 CISG. Dalam KUHPerd, upaya
hukum bagi penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli diatur dalam Buku
III. Dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus terdapat ketentuan
pasal 1266-1243 dan dalam hal ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252
KUHPerd.
B. Saran
Sebagaimana perjanjian pada umumnya,
perjanjian jual-beli internasional dalam CISG maupun perjanjian dalam KUHPerd
menganut sistem terbuka dimana para pihak bebas menentukan bentuk dan isi
perjanjian (vide pasal 6 jo pasal 12 CISG dan pasal 1338 KUHPerd).
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG maupun KUHPerd dapat dipilih sebagai
dasar hukum dari perjanjian yang dibuat para pihak atau sebagai pelengkap jika
para pihak menentukan sendiri bentuk dan isi perjanjiannya.
Oleh karena itu para pihak
sepatutnya memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara detail termasuk
ketentuan yang mengatur tentang sengketa diantara mereka. Ketentuan tersebut
sangat urgen untuk menjamin kepentingan hukum mereka dan untuk mengantisipasi
dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika terjadi pelanggaran
perjanjian.
DAFTAR PERPUTAKAAN
1. Buku
Hamzah Rasyid, 1998, “Kontrak dalam
Jual-Beli Barang Internasional” dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi: Jual-Beli
Barang secara Internasional, ELIPS dan FH-UI, Jakarta.
Subekti 1990, Hukum Perjanjian,
Intermasa, Jakarta.
Subekti 1995, Aneka Perjanjian,
Cipta Aditya Bakti, Bandung.
Komentar
Posting Komentar