LEMBAGA KEUANGAN BANK
Lembaga Keuangan dan Non Bank
PERAN BANK DUNIA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
:
SAHAT SILVERIUS SIJABAT
Universitas
Negeri Medan
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolonganya mungkin penyusun tidak
akan sanggup menyelesaikan tepat pada waktunya.
Karya ilmiah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui
seberapa besar peran bank dunia terhadap Indonesia dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini
memuat tentang, peran bank dunia terhadap Indonesia Semoga karya ilmiah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Medan,desember
2012
penyusun
LATAR BELAKANG
Berdasarkan catatan sejarah, Bank Dunia sendiri
sebenarnya didirikan bersama-sama Dana Moneter Internasional (IMF) di Bretton
Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tahun 1944. Tujuannya saat itu
adalah menghindari terulangnya Great Depression akibat terjadinya perang
dunia kedua. Dengan kata lain, awal pendiriannya ditujukan untuk ikut membangun
stabilitas ekonomi global, terutama akibat peperangan ataupun bencana alam.
Namun dalam perjalanannya, tujuan ini telah bergeser dan kini aktivitas Bank
Dunia justru seringkali menimbulkan kontroversi.
Bank Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara
struktural berada di bawah PBB dan diistilahkan sebagai "specialized
agency". Bank Dunia dibentuk tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi
Bretton Woods yang berlangsung di AS. Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari
44 negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia
adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia adalah untuk
mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu negara-negara korban perang
untuk membangun kembali perekonomiannya.
Bank Dunia dibentuk pada awalnya untuk membiayai pembangunan
kembali Eropa pasca perang dunia kedua. Fungsi tersebut kemudian
berkembang menjadi lebih luas. Tidak lagi terbatas pada upaya akibat
rekonstruksi perang, tetapi juga meliputi pembiayaan rehabilitasi akibat
bencana alam, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta rehabilitasi ekonomi
setelah masa konflik antarnegara. Bank Dunia menyediakan dana-dana yang bersifat
lunak (concessional), yang syaratnya lebih lunak dari pinjaman
komersial. Saat ini Bank Dunia lebih memfokuskan programnya pada upaya
pengentasan kemiskinan global, terutama dalam rangka mencapai target Millenium
Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 .
Bagi
Indonesia sendiri, pembangunan dalam negeri serta perekonomian dan perpolitikan
nasional tidak dapat dipisahkan dari Bank Dunia. jumlah pinjaman Bank
Dunia kepada Indonesia juga cukup besar, apalagi jika dibandingkan dengan
negara-negara lain. Hingga tahun 1998 saja, nilai pinjaman Bank Dunia untuk
Indonesia sudah menyentuh nilai 25,4 milliar dollar AS. Dengan nilai pinjaman
sebesar itu, bahkan lebih besar, tentu saja Bank Dunia dan
kebijakan-kebijakannya menjadi bagian yang saling terikat erat dengan
pembangunan Indonesia.
PERAN
BANK DUNIA TERHADAP INDONESIA
Kebijakan politik pemerintahan Presiden Soekarno
yang mendekat ke blok Uni Soviet menyulitkan Bank Dunia yang memiliki paham
berseberangan untuk mengambil peran lebih banyak bagi Indonesia. Oleh karena
itu, Bank Dunia baru mulai berperan sebagai lembaga pemberi pinjaman bagi
Indonesia pada saat awal masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu sekitar
tahun 1968. Namun sebelum memberikan pinjaman, Bank Dunia “menjajaki” Indonesia
dengan memberikan bantuan teknis untuk identifikasi kebijakan makroekonomi,
kebijakan sektoral yang diperlukan, dan kebutuhan pendanaan yang kritis
(Hutagalung, 2009).
Di masa-masa awal pemberian pinjaman, Indonesia
masih dianggap sebagai negara yang memiliki nilai credit worthiness yang
rendah. Oleh karena itu, pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia pada saat itu
menggunakan skema IDA atau pinjaman tanpa bunga, kecuali administrative fee ¾
persen per tahun dan jangka waktu pembayaran 35 tahun dengan masa tenggang 10 tahun.
Dana pinjaman pertama yang diberikan kepada Indonesia adalah sebesar 5 juta
dolar AS pada September 1968 (Hutagalung, 2009).
Pada masa-masa awal tersebut, dana pinjaman dari
Bank Dunia digunakan untuk pembangunan di bidang pertanian, perhubungan, perindustrian,
tenaga listrik, dan pembangunan sosial. Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia
berhasil menunjukkan performa ekonomi yang memuaskan, dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun, jauh lebih besar dari rata-rata
pertumbuhan ekonomi negara peminjam yang lain. Oleh karena itu, sejak akhir
dekade 70-an Indonesia sudah mulai dianggap sebagai negara yang lebih
creditworthy untuk memperoleh pinjaman Bank Dunia yang konvensional atau dengan
menggunakan skema IBRD. Berbeda dari periode sebelumnya, pada dekade 80-an,
pinjaman uang Bank Dunia terlihat lebih terarah pada masalah deregulasi sektor
keuangan, selain masih tetap digunakan bagi pengembangan sektor-sektor
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada awal dekade 90-an hingga sebelum memasuki
krisis moneter tahun 1997, Indonesia menunjukkan performa ekonomi yang
mengagumkan, bahkan sempat dijuluki sebagai salah satu Asian Miracle. Laporan
dan analisis Bank Dunia terhadap perekonomian Indonesia acap kali dihiasi
dengan berbagai pujian. Sayangnya, sebagaimana terjadi pada banyak negara lain
seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, performa ekonomi yang
memikat tersebut ternyata lebih tepat sebagai “penundaan masalah”.
Kekeliruan dan dampak negatif dari bantuan Bank Dunia,
baik berupa dana pinjaman maupun anjuran kebijakannya, terbukti nyata (meski
bukan faktor satu-satunya) pada saat Indonesia mengalami krisis moneter pada
tahun 1997. Liberalisasi sektor keuangan yang didukung penuh oleh Bank Dunia
terbukti tidak cocok, bahkan mencelakakan, Indonesia. Pada saat krisis terjadi,
mungkin salah satu bantuan paling berharga yang diberikan oleh Bank Dunia
berupa persetujuan atas permintaan pemerintah Indonesia untuk membatalkan
pinjaman yang tidak terserap sebesar 1,5 miliar dolar AS dan menyesuaikan
(realokasi) pinjaman lainnya sebesar 1 miliar dolar AS untuk membiayai program
mendesak, seperti bantuan biaya sekolah, beasiswa, dan jaring pengaman sosial.
Kemudian, pasca
krisis
yang melanda Indonesia, bantuan Bank Dunia masih terus berlanjut, terutama
difokuskan pada kelanjutan pemulihan ekonomi, penciptaan pemerintah yang
transparan, dan penyediaan pelayanan umum yang lebih baik, terutama bagi
kelompok miskin. Terakhir, Bank Dunia kembali menyetujui dua pinjaman kebijakan
pembangunan kepada Indonesia dengan nilai total 800 juta dolar AS untuk
mendukung program prioritas reformasi yang dimotori Pemerintah Indonesia pada
bulan November 2010 (Purwoko, 2010).
Dari penjelasan tahap demi tahap bantuan Bank Dunia
kepada Indonesia sejak tahun 1968, kita dapat melihat betapa besar peran yang
dimainkan oleh Bank Dunia terhadap pembangunan dan pasang surut perekonomian
nasional. Mulai dari infrastruktur yang dibangun selama dekade 1970-an hingga
kebijakan-kebijakan terbaru di era reformasi, semuanya tidak terlepas dari
peran Bank Dunia.
Krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997
seharusnya dapat memberi pelajaran berharga mengenai dua mata pisau yang
diberikan oleh “bantuan” Bank Dunia. Terlepas dari kontroversi niat dan tujuan
pemberian bantuan oleh Bank Dunia, Indonesia sejatinya bisa memilih menjadi
negara yang mandiri dan menentukan masa depannya sendiri, mengukur kemampuan
membayar dan menghitung jumlah dana yang mungkin dipinjam, menyeleksi proyek
yang dijalankan agar sesuai dengan sasaran serta mencapai efektifitas dan
efisiensi, menilik kebijakan yang bisa diliberalisasi dan yang tidak, serta
membekali diri dengan pengetahuan dan teknologi. Karena bagaimanapun, kejahatan
tidak hanya disebabkan niat dari pelakunya, tapi juga kelengahan dan kesempatan
yang diberikan oleh korbannya.
Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar "biaya konsultasi" kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian danuniversitas-universitas.
- Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
KESIMPULAN
Keberadaan
Bank Dunia sejak tahun 1944 telah mempengaruhi perekonomian global secara
signifikan. Mulai dari rekonstruksi dan rehabilitasi negara-negara korban
perang dunia kedua, hingga program-program pengentasan kemiskinan dan
pembangunan berbagai negara berkembang di seantero dunia. Tampaknya kini tidak
ada satu negara pun yang terbebas dari pengaruh Bank Dunia, baik kebijakannya,
dana pinjamannya, maupun kapitalisme dan liberalisasi keuangan yang
dikampanyekannya.
Dalam dua dekade terakhir, Bank Dunia telah banyak
membantu negara-negara dunia ketiga dalam permodalan bagi pembangunan dalam
negerinya masing-masing. Berbagai proyek, mulai dari bidang pendidikan,
kesehatan, pelayanan publik, liberalisasi ekonomi dan keuangan, hingga
lingkungan hidup menjadi fokus bagi pengucuran dana pinjaman berbunga rendah
oleh Bank Dunia. Dengan modal pinjaman inilah, negara-negara berkembang yang
notabene adalah negara miskin dan kekurangan modal, memiliki harapan untuk
memperbaiki kondisi ekonominya dan mengejar ketertinggalan yang sangat jauh
dari negara-negara maju. Bahkan tidak jarang, uang pinjaman inilah yang menjadi
penyangga bagi “nafas” perekonomian negara peminjam yang kadang
“tersengal-sengal” dihantam badai krisis.
Namun demikian, keberadaan Bank Dunia bukan tanpa
kontroversi dan dampak negatif. Kemelut utang tak berujung yang meliputi
berbagai negara peminjam seringkali justru menjadi “bumerang”. Alih-alih
mengatasi masalah perekonomian dalam negeri, seringkali dana pinjaman dari Bank
Dunia justru seperti menumpuk masalah di tahun-tahun mendatang yang suatu saat
–cepat atau lambat- akan overload dan dapat mengakibatkan chaos. Apalagi banyak
ahli ekonomi dari negara-negara peminjam (yang biasanya berdiri di luar
pemerintahannya) berkomentar miring dan justru menuding Bank Dunia yang telah
menganjurkan kebijakan ekonomi yang menyesatkan dan tidak menyelesaikan
masalah. Salah satu penyebabnya adalah aliran uang pinjaman yang masuk
seringkali justru kembali lagi ke negara-negara donor, sehingga menimbulkan
kerugian yang tidak sedikit bagi negara peminjam.
Bagi Indonesia sendiri, peran Bank Dunia mulai
tampak jelas setelah masa pemerintahan Presiden Soekarno yang cenderung dekat
dengan poros Uni Soviet berakhir. Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi
salah satu negara yang dipercaya oleh Bank Dunia untuk meminjam dana untuk
berbagai keperluan, terutama untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan,
pelayanan publik, pertanian dan lingkungan hidup.
Namun demikian, sama seperti banyak negara peminjam
lainnya, hal ini justru dapat membahayakan perekonomian dalam negeri di masa
mendatang jika peminjaman yang dilakukan tidak efisien, tidak bermanfaat, dan
juga boros dalam penggunaannya. Bagaimanapun, utang tersebut –beserta bunganya-
dapat terus menumpuk hingga Indonesia tak mampu lagi membayarnya jika dibiarkan
dilakukan terus menerus tanpa upaya pengurangan utang yang sistematis.
Aliran uang pinjaman yang masuk seharusnya dapat
dikendalikan, sehingga tidak hanya menguntungkan dan menambah kekayaan
segelintir orang, tetapi juga dapat benar-benar menggerakkan perekonomian
nasional, baik secara analisis makro maupun mikro. Karena bagaimanapun,
kemandirian dibentuk dan dilakukan oleh kita sendiri. Dana pinjaman hanyalah
sarana seperti sebuah pedang, jika kita ahli menggunakannya maka akan
menjadikan kita kuat dan sejajar dengan negara manapun, namun jika kita tidak
hati-hati menggunakannya, justru dapat “melukai” bahkan “membunuh” kita
sendiri, cepat ataupun lambat.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar