MAKALAH KEDUDUKAN WANITA DALAM SUKU BATAK TOBA
MAKALAH KEDUDUKAN WANITA DALAM SUKU
BATAK TOBA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
SAHAT SILVERIUS SIJABAT
7111141018
MK. EKONOMI KEPENDUDUKAN
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam berbagai perbincangan atau suatu topik diskusi tentang “Gender” pada
budaya Batak, beberapa di antaranya menganggap “wanita” mendapat posisi yang
tidak setara dengan “pria”. Berbeda dengan pendapat tersebut, diskusi ini
memandang bahwa Suku Batak sangat menghormati dan menghargai kaum wanita,
dan wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria sesuai dengan tata
aturannya, diantaranya:
1. Pada mitologi, kisah asal mula manusia di bumi Batak (Banua Tonga),
tokoh sentral yang membentuk daratan dan menyemaikan benih kehidupan adalah
seorang wanita, yaitu Siboru Deang Parujar (Siboru Dea);
2. Pada konsep dewata, selaku manusia pertama di Banua
Ginjang, lahir 3 (tiga) wanita, dengan urutan:
a). Siboru Parmeme
b). Siboru Panuturi
c). Siboru Parorot
Jika dimaknai maka, nama atau
gelar wanita tersebut mempunyai tugas penting untuk kehidupan manusia:
a). Parmeme = yang
mengunyahkan makanan untuk diberikan kepada anak kecil. Marmemehon
artinya juga mengajarkan dengan memberikan contoh teladan.
b). Panuturi = penasihat.
Manuturi = memberikan pengajaran tentang sikap, budi pekerti, tata etika
dan perilaku.
c).
Parorot = pelindung, penjaga, pengasuh, pengawas anak-anak
3. Dari istilah-istilah untuk “isteri” jika dimaknai, bahwa seorang wanita
memegang tugas, kewajiban dan peran penting bagi masa depan keluarga dan
keturunan Batak, mempunyai kesetaraan dengan pria, dan bagaimana budaya Batak
menghargai “wanita” di tengah keluarga inti dan masyarakat social.
4. Dari segi
harta warisan, hak atas tanah memang untuk anak (keturunan laki-laki), karena
wanita kelak kan menikah maka keturunannya akan mengikuti marga suaminya.
Warisan untuk wanita biasanya berupa: pemberian ibunya sewaktu si wanita masih
gadis, dapat berupa pakaian atau emas perhiasan.
Hak wanita atas
tanah bisa diperoleh dalam bentuk
a.
Silehon-lehon (hadiah), pemberian sawah dari orangtuanya
b. Pauseang, tanah yang
diberikan oleh orang tua pengantin perempuan untuk putrinya atau menantunya
sebagai pertanda kasih sayang.
5. Pada upacara religi, baik martutu aek, mangalontik ippon, atau
upacara pemakaman, upacara adat terhadap wanita mempunyai perlakuan dan
kedudukan sama halnya dengan pria.
6. Dalam
kegiatan ulaon-ulaon adat, parhobas, yang mempersiapkan dan melayani acara,
termasuk menghidangkan makanan juga dilakukan oleh pria dan wanita secara
bersama-sama.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam suku
batak toba, perbedaan status lelaki dengan perempuan sangatlah mudah untuk
dilihat. Hal ini karena dalam suku batak, laki – laki merupakan pembawa marga ( garis keturunan laki – laki. Jadi
anak laki – laki dalam batak sangat
istimewa kedudukannya.
Seperti
yang dapat kita lihat dari suku batak toba ialah dalam suku adat batak toba,
jika dalam sebuah perkawinan muda telah berujung dalam maut dimisalkan saja
yang meninggal adalah seorang perempuan dan
Perempuan tersebut meninggalkan anak dan suaminya. Setelah istrinya
dikuburkan dan dalam kelang waktu beberapa saat, sang anak yang di tinggalkan
ibunya tadi pasti akan diminta sang mertua atau sang ibunya untuk merawat
anaknya tersebut, dan sang suaminya tadi pergi meninggalkan anaknya dengan alasan
untuk mencari pekerjaan. Ketika sang suami tersebut mempunyai keinginan untuk
menikah lagi, pasti sang ayah langsung diizinkan oleh keluarganya dan biasanya
jika sang istri mempunyai adik perempuan, tidak jarang adik perempuan itu di
nikahinya, tetapi bagaimana jika yang meninggal adalah sang laki – laki dan
yang ditinggalkan adalah anak dan istrinya? Apa yang akan terjadi kepada sang
perempuan? Apakah sang perempuan mendapatkan hak istemewa seperti apa yang
didapat oleh si laki – laki?
Sebuah realita yang nyata yang dapat
kita lihat di kehidupan kita sehari – hari, tak jarang perempuan batak yang
telah di tinggalkan oleh suaminya tetap hidup sendiri (janda) dan mengurus anak
dengan seorang diri. Jika si perempuan
meminta untuk menikah lagi, pasti tak diizinkan oleh pihak keluarga dan banyak dibicarakan oleh orang lain. Dalam hal
ini saja dapat terlihat bahwa dalam suku batak, khususnya dibatak toba adanya
perbedaan gender yang terjadi. Status dan kedudukan sang laki – laki lebih di
hak istemewakan dari pada hak seorang istri. Maka dapat kita lihat, tidak
jarang perempuan batak yang janda hidup sendiri, ia harus sanggup sebagai
seorang ayah yang dapat membiayai anak – anaknya dan seorang ibu yang dapat mengurus anak – anaknya. Hidup
bekerja keras untuk membiayai keluarganya. Padahal jika kita pikir – pikir,
seorang perempuan juga adalah manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan.
Perempuan juga butuh teman untuk tidur dan teman untuk berbagi cita dan duka.
Selain itu
perbedaan gender batak toba kita lihat dimana jika kita pergi ke huta ( perkampungan batak ) dapat kita lihat
ibu ibunya bekerja keras baik itu dirumah maupun diladang untuk memnuhi
kebutuhan keluarganya, tetapi sang suami malah enak – enak di kedai tuak berminum – minum dn bersenang –
senang. Jika sang suami pulang kerja kerumah ia harus dilayani, dari
mempersiapkan makanan, air mandinya dll. Jika semua permintaanya tidak diberikan ia akan marah – marah dan
memukul sang istri.
Perbedaan
gender juga terjadi kepada sang anak. Anak laki – laki dan anak perempuan. Dalam suatu rumah tangga, jika mereka tidak
mempunyai anak laki – laki mereka akan berusaha selalu membuat anak sampai
mereka mempunyai anak laki – laki. Karna laki – laki itu merupakan menjadi
garis keturunan sang ayah dan pembawa marga. Maka anak laki – laki sangat
istimewa, sehingga dalam kehidupan sehari – hari anak laki – laki sangat di
anak emaskan. Didalam kehidupan sehari – hari, anak laki – laki juga sangt
ditabukan untuk melakukan pekeeerjaan perempuan, anak laki – laki hanya
disiapkan untuk menjadi anak yang sukses dan di tuntut untuk belajar dan
belajar. Anak laki – laki walaupun dia masih duduk dibangku sekolah ( sma)
kedua orang tuanya sudah mempersiapkan anak laki – lakinya mau kemana ia akan
menempuh hidupnya, misalnya ia akan dipersiapakan mau kemana ia akan di
sekolahkan tingkat tinggi, orang tuanya tidak peduli mau brp hartanya habis
asalkan anak laki – lakinya dapat sukses. Bandingkan bagaimana jika keadaan itu
terjadi pada anak perempuannya? Orang tuaya akan berpikir 10 x untuk
menyekolahkan perempuannya tersebut, karena ayahnya berpikir anak perempuan
ngapain disekolahkan tinggi – tinggi toh juga anak perempuannya nanti hanya
bekerja di dapur.
Jika kita
analisis kasus ini, bagaimana tanggapan teman – teman? Menurut saya perbedaan
gender telah banyak membuat para perempuan tersiksa baik itu secara fisik dan
psikologisnya( batinnya). Maka perbedaan gender di masyarakat batak toba
sebaiknya perlu si indahkan. Agar tidak ada yang tersakiti da menyakiti hati perasaan
manusia. Laki dan perempuan merupakan makluk Tuhan, derajatnya sama.. Cuma satu
perbedaan diantara perempuan dan laki – laki yaitu perempuan dapat mengandung
dan melahirkan sedangkan laki – laki tidak dapat. Perempuan sekarang dapat juga
melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki – laki yaitu mencari nafkah.
Derajat perempuan dan laki – laki boleh disamakan dan ayah tetap kepala
keluarga.
MENURUTKU, tak seluruhnya benar anggapan atau pendapat yang mengatakan
bahwa perempuan menjadi inferior dalam sistem sosial masyarakat Batak--dan
sebaliknya, lelaki, berposisi superior. Benar, etnis Batak menganut garis
patrinial, namun tak berarti hak dan kedudukan perempuan jadi tereduksi oleh
sistem tersebut secara ekstrim.
Baiklah kita amati dan buktikan dalam aktivitas kehidupan maupun hajatan
adat. Peran serta perempuan begitu aktif. Bahwa perempuan menjadi 'parhobas'
dlm acara adat, itupun harus dilihat posisinya dalam acara itu. Bila ia,
misalnya, berkedudukan sebagai 'paniaran' atau 'hula-hula' (istri tulang, istri
saudara laki-laki), tentu ia tidak dibolehkan 'marhobas' (yang mengurusi pesta
atau hajatan, termasuk melayani tetamu), sebab dianggap tidak pantas karena
tugas tersebut merupakan kewajiban perempuan (yang sudah menikah atau masih
lajang) yang berstatus 'boru' dalam kenduri adat tersebut.
Para 'paniaran' atau 'nantulang' maupun 'eda' (ipar perempuan),
dipersilakan duduk manis di tengah hajatan, tidak usah menyampuri dapur atau
harus ikut melayani tetamu. Tetapi di hajatan lain, di mana ia tengah berposisi
sebagai 'boru', tugas 'marhobas' itu sewajarnyalah ia lakukan, itu pun bukan
suatu hal yang imperatif atau memaksa, sebab bila misalnya ada boru yang enggan
terlibat, toh dibiarkan saja--paling disindir para kerabatnya
Artinya, sistem adat Batak sebetulnya 'fair', 'just', memberi giliran
bagi seseorang: di mana ia menjadi "bos" dan kapan ia jadi
"pelayan". Jangan salah pula, meski kedudukannya saat itu sebagi
'boru', ia pun harus diperlakukan dengan baik (dielek), ada jambar untuk mereka
(hak adat, bisa berupa daging, kata sambutan/tanggapan, dll) untuk mereka, juga
ikan (dengke). Bila boru ngambek, misalnya, hajatan (ulaon) bisa terancam
gagal! Jadi, tak boleh main-main atau meremehkan boru (dan suaminya).
Lalu, ini menurutku yang amat menarik dan sebaiknya diketahui oleh semua
perempuan Batak. Begitu ia resmi menikah maka statusnya tidak saja istri
(parsonduk bolon) tapi juga kedudukannya otomatis akan setara dengan mertuanya,
menjadi "ibu kedua" bagi adik-adik suaminya, dan menjadi 'paniaran'
atau menjadi 'ibu' bagi komunitas marga.
Dengan kata lain, sekali ia menikah, ada empat kedudukan yang dimilikinya--termasuk jadi ibu bagi anak-anak kandungnya. Sedemikian berarti dan terhormatnya perempuan bagi masyarakat adat Batak hingga orangtua yang paham adat dan tata krama ala Batak, jauh-jauh hari sudah menyiapkan anak gadisnya agar bisa mendekati standar perilaku yang dianggap ideal yang disebut 'boru ni raja' itu.
Dengan kata lain, sekali ia menikah, ada empat kedudukan yang dimilikinya--termasuk jadi ibu bagi anak-anak kandungnya. Sedemikian berarti dan terhormatnya perempuan bagi masyarakat adat Batak hingga orangtua yang paham adat dan tata krama ala Batak, jauh-jauh hari sudah menyiapkan anak gadisnya agar bisa mendekati standar perilaku yang dianggap ideal yang disebut 'boru ni raja' itu.
Aku tak bermaksud menjadi chauvinistik, tapi mana ada suku-bangsa di
dunia ini yang menempatkan posisi perempuan (menikah) sedemikian penting
sebagamana disebutkan di atas? Ada pula anggapan atau persepsi yang keliru
tentang makna 'sinamot' (semacam mahar), sebetulnya bila dipahami secara benar,
sinamot bukanlah 'uang jual-beli' seorang boru! Itu semacam balasan atau
imbalan yang dianggap sepatutnya diberikan pihak laki-laki (paranak) kepada
orangtua calon istri: sebagai bukti bahwa boru mereka akan 'dirajakan' atau
dihormati dengan cara dijadikan istri bagi anak lelaki pihak yang meminang, atau
akan jadi menantu untuk orangtua lelaki dan kelak menjadi 'paniaran' bagi marga
sang lelaki.
Zaman dulu, ketika uang belum dikenal, sinamot itu lazim diberi berupa
ternak yang dianggap berharga mahal: kerbau, sapi, kuda. Jumlahnya tergantung
kesepakatan dan kemampuan pihak laki-laki atau permintaan pihak perempuan, bisa
30 ekor kerbau tapi bisa pula satu ekor--di luar ternak yang akan dipotong
untuk keperluan pesta.
Yang mengajukan dan melakukan tawar-menawar atas sinamot itu pun tidak
boleh orangtua si perempuan kandung, tapi dilakukan oleh adik-kakak dan kerabat
si bapak. (Karena itu disebut: pamarai, harafiahnya, yang ditugaskan melihat
sinamot berupa kerbau atau sapi tersebut ke 'bara ni jabu' atawa kandang ternak
itu).
Itu ada maknanya: untuk menjaga harga diri bapaknya si boru! Kenapa harus
dijaga? Sebetulnya, mengawinkan seorang boru bukanlah peristiwa biasa bagi
kedua orangtuanya--terutama bagi ayahnya. Sesungguhnya ada dilema yang amat
dahsyat dalam batin sang bapak melepaskan boru-nya namun tak diungkapkan.
Umumnya terbilang berat bagi setiap bapak untuk melepas boru-nya ke keluarga
lain, barangkali karena secara emosional seorang ayah lebih dekat dengan anak
perempuannya ketimbang pada anak lelakinya; di sisi lain bila boru-nya tidak
menikah akan dianggap salah juga, sebab selain akan jadi gunjingan, diharapkan
pula 'hagabeon' itu diberikan boru-nya (berketurunan). karena perempuan yang
sudah menikah telah menjadi ibu bagi keluarga suaminya, juga 'paniaran' untuk
marga suaminya, maka tentu ia harus mendahulukan keluarga dan klan suaminya.
Warisan yang berhak dan sepatutnya ia dapatkan pun dari kakek-mertuanya, bukan
lagi dari orangtua kandung atau dari ompung-nya. Yang berhak atas harta-benda
orangtua kandungnya ialah: perempuan yang kemudian menjadi istri saudara
lelakinya.
Bila ternyanya mertuanya tidak punya banyak harta sebagaimana orangtua
kandungnya, apa boleh buat, itu sudah pilihannya. Dan, bukankah keagungan
sebuah pernikahan bukan karena faktor harta? Demikian pun, anak perempuan tetap
boleh mendapat harta warisan dari orangtua kandungnya (bila ada dan diberikan
secara sukarela), yang disebut 'pauseang' (lazimnya: sawah, ladang).
Dengan penjelasan secara umum di atas, lalu apa alasannya sepupumu itu
menganggap kedudukan perempuan Batak inferior di tengah komunitasnya?
Nampaknya, ia hanya tidak paham saja, dan itu bukan karena kesalahannya belaka,
melainkan: orangtuanya yang tidak secara baik menjelaskan makna adat dan
kedudukan perempuan bagi masyarakat beretnis Batak, yang sesungguhnya amat
mahal dan berharga itu.
Bila dalam realitasnya banyak perempuan Batak yang harus banting tulang
atau kerja keras mencari nafkah dan menyekolahkan anak-anaknya sementara
suaminya lebih suka nongkrong di kedai kopi/lapo tuak, itu karena penyimpangan!
Bukan anutan adat atau pandangan hidup masyarakat Batak.
Sejatinya, atau idealnya, lelaki Batak itu seseorang yang tangguh, mampu
menempatkan dirinya laksana pohon rindang (hau nabolon) bagi istri-anak,
orangtua, sanak-saudara, dan kerabat marganya. Dari situlah tumbuh harkat,
martabat, dan harga dirinya sebagai 'anak ni raja'.
BAB III
PENUTUP
Dalam hal pewarisan
hukum adat patrilineal masih terdapat bias gender yang mencolok, yaitu dimana
pihak yang berhak sebagai penerima warisan atau ahli waris adalah kaum
laki-laki saja dan kaum perempuan tidak berhak untuk mendapat warisan.
Masyarakat patrilineal khususnya dalam masyarakat Batak Toba menganggap bahwa
anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak
perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus
marga dari orangtuanya. Sebaliknya anak perempuan nanti akan “dijual” dan
keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya. Dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba, perempuan sering kali mendapat perlakuan yang kurang
adil. Dengan sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba, jelas
menunjukkan bahwa anak laki-laki sebagai generasi penerus, sedangkan anak
perempuan nanti akan ikut marga suaminya kelak dan tidak akan mendapat hak
waris atas harta orangtuanya.
Berikut ini adalah beberapa kasus gender dalam
kehidupan orang batak toba :
1. Masyarakat batak toba adalah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal
1. Masyarakat batak toba adalah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal
2. Dalam kehidupan sosial, masyarakat
batak selalu di hadapkan dengan berbagai upacara / pesta ( pesta perkawinan,
pesta kematian) dan upacara seremonial lainnya. Di dalam upacara seremonial
tersebut biasanya terdapat suatu diskusi, diskusi itu dapat berupa diskusi
tentang masalah-masalah dalam upacara itu. Di sini pihak laki-laki sangat
dominan perannya, saking dominannya peran laki-laki ini sampai-sampai wanita
tidak di beri kesempatan untuk ikut duduk bersama membicarakan masalah
tersebut, apalagi sampai ingin memberikan saran dan masukan. Akan terdengar
ocehan dari para bapak-bapak “ hamui akka ina i , hu pudian jo hamu, mardebban
majo hamu”. Kalian semua para wanita, kebelakang saja, sirih kalian itu saja
makan. Hal ini menggambarkan bahwa peran wanita dalam masyarakat sangat di
batasi oleh laki-laki. Sehinnga perempuan cenderung memilih pasif dan diam
saja.
Perempuan
batak di kenal sebagai wanita yang gagah dan perkasa, mereka akan rela berjuang
mati-matian membantu suami mereka demi menghidupi rumahtangga mereka.
Perbandingannya dengan wanita dari suku lainnya ( jawa). Wanita jawa memang
pintar mengambil hati suaminya, tetapi jika suaminya memberikan uang mereka
akan langsung menghabiskannya tanpa memikirkan hari besok, lain halnya dengan
wanita batak , mereka memang tidak pintar mengambil hati suaminya, tetapi jika
suaminya memberikan uang belanja, berapapun itu pasti mereka bisa mencukupi
kebutuhannya. Malahan jika kurang perempuan batak pasti pintar mencari uang
tambahan sekalipun itu itu harus bersusah payah. Wanita batak juga di kenal
sebagai “parbahul-bahul na bolon”. Apapun yang tersedia mereka akan mampu
mencukupinya. Bukan hanya itu wanita batak juga mendapat gelar “
parengge-rengge”,wanita penjual sayur. saking gigihnya dan kuatnya dalam
mengarungi perekonomian rumahtangganya. Akhir kata , seharusnya wanita batak di
beri hak berdemokrasi dalam paradaton karena banyak wanita batak yang mampu
berperan sama dengan laki-laki.
Referensi
http://sinagafernandes.blogspot.com/2012/03/potret-boru-batak-dalam-paradaton.html
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com